Masih di Acara Birthday

120 21 2
                                    

***
Dimalam harinya, di malam yang berwarna hitam itu, suasana sekolah berubah menjadi gemerlap dengan cahaya lampu yang menyala terang. Semua murid memenuhi aula sekolah dengan pakaian terbaik mereka, sesuai dengan tema hitam yang menjadi pilihan untuk merayakan ulang tahun sekolah.

Zayyan duduk di kursi belakang mobil, menatap keluar jendela dengan tatapan hampa. Meskipun ia berada di dalam kendaraan mewah, hatinya terasa jauh dari gemerlapnya kehidupan orang-orang kaya. Supirnya mengemudikan mobil dengan hati-hati, sesuai instruksi yang telah diberikan sebelumnya: berhenti di persimpangan jalan sebelum sampai di sekolah.

Di dalam mobil, Zayyan merenungkan perasaannya yang bercampur aduk. Rasanya seperti terperangkap di antara dua dunia: dunia nyata tempatnya tinggal dan dunia di mana dia ingin berada, di antara teman-teman sebayanya tanpa harus menyembunyikan identitasnya.

Meskipun dia tahu bahwa keamanan dan privasi adalah alasan di balik tindakan ini, tetapi terkadang rasa kesepian dan rasa ingin berbagi menjadi sangat menyiksa.

Namun, Zayyan mencoba untuk menjaga ketenangan dan kesabaran. Dia belajar untuk menerima realitasnya dengan tanggung jawab yang diembannya.

Meskipun terkadang pahit, dia tahu bahwa ini adalah bagian dari hidupnya, sebuah perjalanan yang harus dia lalui dengan tekad dan keberanian. Seiring mobil melaju di jalanan yang tenang, Zayyan mempersiapkan dirinya untuk malam yang akan datang, siap untuk menghadapi setiap tantangan yang mungkin muncul di depannya.

Ketika mobil berhenti di persimpangan, Zayyan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan kegelisahan yang menggulung di dalam dadanya. Ia mengenakan setelan hitam yang sempurna, namun perasaannya tidak bisa berbohong.

Malam ini, dia merasa lebih seperti seorang penonton daripada seorang peserta dalam perayaan yang seharusnya berarti banyak baginya.

"Pak, saya akan turun di sini," ucap Zayyan kepada supir barunya.

Suaranya hampir tenggelam dalam suara musik dari aula yang mulai terdengar samar-samar. Supir barunya, yang bukan lagi Pak Dadang, menoleh dengan penuh pengertian.

Pak Dadang, supir lama yang sudah seperti keluarga bagi Zayyan, telah dipecat oleh papanya setelah kejadian mereka pulang terlambat kemarin malam. Perasaan bersalah masih menghantui Zayyan setiap kali ia teringat tatapan kecewa Pak Dadang saat mengucapkan selamat tinggal.

Supirnya mengangguk dan membukakan pintu.

"Baik, Tuan Muda Zayyan. Saya akan menunggu di sini jika Anda membutuhkan sesuatu," ucapnya dengan nada formal yang kaku, tidak seperti kehangatan yang selalu Pak Dadang berikan.

Zayyan menghela napas berat saat keluar dari mobil, merasa berat hati. Langkah kakinya terasa berat saat ia mendekati sekolah yang penuh gemerlap cahaya dan suara tawa teman-temannya. Meskipun malam ini adalah perayaan ulang tahun sekolah yang meriah, hatinya dipenuhi dengan kesedihan dan penyesalan.

Dia telah berjanji kepada papanya untuk tidak melakukan kesalahan lagi dan tidak membantah setiap perkataan beliau. Janji yang terasa semakin sulit dipenuhi setiap harinya.

Kenangan akan kejadian malam itu terus menghantuinya. Mereka hanya ingin menikmati malam sedikit lebih lama, namun berakhir dengan kemarahan papanya dan pemecatan Pak Dadang. Zayyan merasa sangat bersalah, seolah-olah semua ini adalah kesalahannya.

Dia tahu betapa papanya tidak mentoleransi ketidakdisiplinan, dan kejadian itu membuat hubungannya dengan sang ayah semakin renggang.
Ketika ia berjalan menuju aula, Zayyan merasakan tatapan teman-temannya yang seolah menembus dirinya.

Mereka semua tampak bahagia, tertawa dan berbicara dengan semangat. Namun, Zayyan merasa asing di tengah keramaian itu. Setelan hitam yang ia kenakan tidak mampu menyembunyikan kekosongan yang ia rasakan di dalam hatinya.

"Kanvas Mimpi" AU XodiacTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang