Suara kokok ayam mulai terdengar bersahutan, bersamaan dengan munculnya cahaya matahari pagi yang menembus sela-sela pepohonan.
Bau embun ia hirup begitu segar, mengawali niat Panji dan Arya demi mencari jawaban atas semua pertanda yang telah mereka dapatkan.
Hamparan kebun di belakang rumah Ki Sangki begitu luas, memanjakan mata Panji. Dari kejauhan dapat ia lihat, Ki Sangki sedang sibuk memberi pakan ternaknya.
“Panji, kemari bantu kakek!” teriak Ki Sangki ketika menyadari kehadiran Panji.
Panji segera berjalan menghampiri Ki Sangki. Ia lihat kandang ayam dan angsa berjejer rapi di halaman belakang rumah tersebut. Satu persatu pintu kandang dibuka, seketika ayam dan angsa keluar dari berhamburan, sambil mengepakan sayap-sayapnya.
Ki Sangki hanya memandang Panji begitu dalam seraya tersenyum ke arahnya. Begitu lama cucu kesayangannya itu pergi meninggalkan ia seorang diri, rasa sesak di dada yang selalu ia rasakan segera terobati setelah ia bisa melihat Panji lagi.
“Ke mana Arya, kenapa tidak menyusul kemari?” tanya Ki Sangki tiba-tiba.
“Tadi keluar, kek, mungkin membersihkan motor kesayangannya,” sambil terkekeh Panji menjawabnya.
“Ya sudah, setelah selesai mengurus itu, segeralah ke meja makan,” Ki Sangki segera meninggalkan Panji seorang diri di sana. Sementara, ia masih sibuk memberi pakan ternak yang begitu banyak.
Langit begitu cerah pagi itu, suara kicauan burung memaksa Panji untuk tenang walau perasaannya kini masih berkecamuk. Entah bagaimana nanti, ia ingin segera bertemu Daryo untuk mencari jawaban dari semua yang telah terjadi pada keluarga lelaki itu, terlebih tentang sosok Mak Yah, apa benar ada hubungannya dengan keluarga Daryo.
Perlahan Panji berjalan meninggalkan halaman belakang. Langkahnya begitu berat ia rasa, amanah yang diberikan kepadanya semakin besar.
Membuat rasa takutnya meruak, ia takut akan kegagalan yang tak dapat ia hindari, meski ia yakin selalu ada campur tangan sang pencipta.
Di meja makan, Ki Sangki sudah terduduk bersama Arya yang sudah menyiapkan beberapa makanan. Panji segera menyusul, sembari ikut mengambil lauk yang terhidang.
“Kapan kita berangkat ke Desa Sendanglor, Pan?” tanya Arya yang tengah sibuk mengunyah makanan yang sudah penuh dalam mulutnya.
“Telan dulu itu makanmu.” bukan sebuah jawaban yang Arya dapat, malah sebuah teguran dari Panji yang terlontarkan.
“Secepatnya, Ar, aku udah nggak sabar, rasanya ada yang nggak beres,” lanjut Panji.
“Kakek setuju, lebih baik pagi ini juga kalian pastikan,” Ki Sangki ikut menimpali.
Tak ada percakapan lagi yang terucap dari ketiganya. Mereka terdiam, larut dalam pikiran masing-masing, memikirkan cara terbaik untuk membantu Daryo keluar dari permasalan keluarganya.
“Firasatku nggak enak, Pan, sepertinya setelah ini kita harus segera ke rumah Daryo.” tiba-tiba gelisah mulai menguasai Arya.
Begitu juga dengan Panji yang mulai merasakan firasat buruk datang datang pada mereka. “Sudah sejak semalam firasatku begitu, Ar, bahkan aku sudah dibawa…” Panji tak melanjutkan ucapannya.
“Dibawa ke mana, Pan, maksudnya?” Arya yang kebingungan dengan sikap Panji pun bertanya.
Namun, Panji tak ingin mengatakan yang sebenarnya saat itu juga, “Sudah nanti saja, aku bersiap dulu, Ar.” Panji segera berajak pergi, meninggalkan Arya untuk bersiap menuju rumah Daryo.
Masih dengan pertanyaan demi pertanyaan yang sama, selalu terlintas di pikirannya. Takut dan juga gelisah mulai mendominasi perasaannya. Namun, berulang kali pula ia mencoba meyakinkan langkah demi menolong Daryo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bawana Swatanegara
HorrorJauh ketika keruntuhan Kerajaan Mataram terjadi, berimbas pada kerajaan-kerajaan kecil yang ada di sekitarnya. Perselisihan terjadi, perebutan kekuasaan untuk menjadi kerajaan terhebat di tanah Nusantara membuat para raja berlomba-lomba, menghalalka...