"Persekutuan selalu berbalas nyawa, hukum tabur tuai pun selalu ada, apa yang mereka tanam dari persekutuan akan berbuah sanksi melekat abadi. Bagaimana pun kenikmatan duniawi tak sebanding dengan harga nyawa yang mereka tumbalkan."
[Dharmawangsa Panji Adiguna]
Sekar Kemalasari, seorang kembang desa yang dipersunting oleh R. Jayakarta. Dua insan yang telah lama memandu kasih, di sebuah pernikahan yang indah keduanya mengharap akan hadir sebuah kebahagiaan baru, tapi yang terjadi malah sebaliknya.
Tak lama setelah pernikahannya, anak semata wayang Ki Sangki kini sedang terbuai tawa. Rasa bahagia tak henti-henti membanjirinya, tak ada habisnya setelah mengetahui bahwa Kemala sedang mengandung anak pertama. Hari demi hari Jaya habiskan bersama Kemala yang kini berbadan dua. Lengkap sudah hidup Jaya yang dirasa sudah sempurna berkat kehadiran Kemala dan buah hati yang dinanti-nanti. Hingga sampai di mana usia kandungan Kemala menginjak 3 bulan, berbagai hal janggal mulai bermunculan, setiap malam Kemala berteriak, meracau segala hal yang tidak Jaya ketahui maksudnya. Ia mengaku, selalu merasa ada yang mengawasi mereka setiap malam.
Ki Sangki yang mengetahui hal itu, tidak tinggal diam. Malam setelahnya, di rumah mereka mengadakan pengajian untuk mendoakan anak yang dikandung Kemala. Acara berjalan lancar sebelum tengah malam, semakin larut gangguan yang tak diinginkan pun datang. Seisi rumah gempar, Jaya yang saat itu sedang berbincang dengan Ki Sangki dibuat kaget karena Kemala berteriak seperti malam-malam sebelumnya. Betapa terkejutnya Jaya melihat Kemala sudah tergeletak di lantai keramik yang dingin, wanita itu tak sadarkan diri. Hampir gila ia dibuatnya, setiap malam selalu sama, berbagai upaya yang mereka lakukan untuk menjaga Kemala gagal. Di sisi lain, ia ingin anak yang dikandung Kemala lahir, setelah sekian lama penantian panjang mereka, ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang sudah diberikan sang pencipta.
"Jaya, kemari ada yang ingin bapak bicarakan." Ki Sangki dengan raut wajah yang gelisah itu pun beranjak, mengajak Jaya berbincang sebentar.
Jaya hanya mengangguk, mengikuti ke mana Ki Sangki pergi. Sambil duduk di teras rumah, ditemani oleh rokok dan kopi, perbincangan antara anak dan bapak itu pun dimulai. "Ada apa, pak? Apa ada hal penting yang harus dibicarakan dengan Jaya?" tanya Jaya tanpa basa-basi.
Asap putih disembur dari mulut Ki Sangki, ia menghela napas panjang, menimbang-nimbang apa yang harus ia sampaikan. "Bapak sudah banyak cerita kepadamu, kamu juga pasti tahu kalau keluarga kita ini masih menjadi satu keturunan dengan sang prabu." ucap Ki Sangki.
"Lalu ... apa hubungannya dengan Kemala?"
"Sudah lama dari garis keturunan belum ada yang diwarisi kesaktian prabu, bapak hanya khawatir kalau sang prabu memilih anak yang dikandung Kemala sebagai titisannya."
Mendengar hal itu membuat Jaya tertegun, ia tahu betul risiko yang harus diambil jika memang anak yang dikandung oleh Kemala menjadi titisan sang prabu. Suasana menjadi hening, hanya asap rokok yang menjadi teman di antara perbincangan mereka.
"Kalau memang benar warisan itu jatuhnya ke anakmu, apa pun yang terjadi lakukanlah, lindungi anakmu hingga lahir nanti, ingat itu Jaya." sambil mematikan rokoknya, Ki Sangki beranjak meninggalkan Jaya.
Bulan demi bulan mereka lalui, meski sangat sulit. Namun, ketika mereka ingin menyerah, ia mengingat pesan Ki Sangki yang menjadi bekal agar selalu menjaga buah hatinya. Menyisakan tenaga yang ada untuk ikhtiar serta usaha, itulah yang bisa mereka lakukan sekarang.
Hingga saatnya telah tiba, kelahiran yang tak terduga terjadi pada Kemala. Di tengah derasnya hujan malam hari, Kemala meronta kesakitan, perutnya yang sudah besar tak bisa lagi ia tahan. Memaksa Jaya menerabas hujan di tengah malam untuk membawa bidan, membantu persalinan Kemala saat itu juga.
Suara tangis bayi kini terdengar, tak ingin kalah dengan derasnya hujan. "Alhamdulillah, ya, Pak Jaya ... anaknya laki-laki." ucap bidan tersebut.
Tangis haru mengguyur keduanya, sambil menggendong sang buah hatinya kini Jaya mengumandangkan adzan. Namun, rasa senang yang mereka rasakan tak berlangsung lama. Di sela-sela tangis bahagia, suatu bisikan turut serta, " Hi-hi-hi ... anak itu akan celaka, titisan Prabu Sangkalangit, anak itu sudah tercium baunya."
Bagaimana pun, mereka sudah tahu apa yang akan terjadi jika anak itu berhasil dilahirkan. Kelak ia akan menjadi seseorang yang dibutuhkan, serta menjadi musuh bagi "mereka" di seberang sana.
Malam kelahiran Panji membuka lembaran baru bagi Desa Salangkarangan. Jerit tangis kini terdengar di tengah malam yang berharap sunyi. Firasat yang dirasakan Ki Sangki sudah terbukti. "Anak itu memang titisannya ... bahkan "mereka" saja tidak menerima kelahiran anak itu." gumam Ki Sangki penuh amarah.
Setelah kelahiran putranya, kini keluarga Jaya menanggung apa yang harus diterima. Berbagai usaha sudah mereka lakukan demi kelahiran Panji, tapi keduanya harus tutup usia untuk menebus kelahiran anak yang menjadi titisan Prabu Sangkalangit.
Waktu terus berjalan mengubur luka terdalam, Panji tumbuh besar bersama Ki Sangki dengan segala kesederhanaannya. Ia tumbuh menjadi anak yang cerdas dan pemberani. "Kek, kenapa Panji selalu melihat ular besar dalam mimpi? Kenapa ular itu melilit bapak dan ibu?" tak ada angin maupun hujan, satu pertanda kembali mereka dapatkan, di usianya yang menginjak 10 tahun, Panji dititipkan sebuah khodam berupa ular raksasa.
"Jagadya Reksa ..." itulah namanya.
***
"Kamu dengar? Kita harus pergi sebelum berhadapan dengan iblis itu!" titah Arya segera.
Setelah seluruh beras yang dibawa itu habis, keduanya segera berlari meninggalkan tempat tersebut sebelum diketahui oleh iblis yang lain. Mereka kembali melangkah menyusuri gelapnya malam, hanya dengan seberkas cahaya yang bisa mereka andalkan untuk menerangi jalan.
Di tengah perjalanan, Arya mendengus kesal. "Asal kamu tahu, Pan, sewaktu aku mengantar dua orang tadi, aku bertemu lelaki tua di perbatasan hutan dengan desa, tapi anehnya dia bisa melihatku." beber Arya, entah mengapa firasatnya semakin buruk sekarang, padahal seharusnya tak ada orang yang bisa melihat sosok genderuwo Arya, kecuali ia memiliki ilmu tingkat tinggi.
"Sudah, jangan terlalu dipikirkan, kalau memang benar firasat burukmu, pasti nanti terbukti." tukas Panji.
Setelah percakapan panjang mereka berakhir, kini mereka sudah berada di ujung hutan. Segeralah Arya mengambil motor lalu bergegas pulang bersama Panji. "Semoga segera mendapat jawaban ..." gumam Panji sedari tadi.
Perjalanan yang panjang dan cukup melelahkan. Namun, usaha mereka tak berakhir sampai di situ saja, masih banyak hal yang perlu dicari tahu, apa lagi tentang keberadaan gerombolan berjubah hitam itu. Mereka percaya, orang-orang yang melakukan ritual pasti memiliki dalangnya. Tugas mereka kini satu, menggagalkan ritual sebelum gerbang ghaib terbuka sepenuhnya.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Bawana Swatanegara
TerrorJauh ketika keruntuhan Kerajaan Mataram terjadi, berimbas pada kerajaan-kerajaan kecil yang ada di sekitarnya. Perselisihan terjadi, perebutan kekuasaan untuk menjadi kerajaan terhebat di tanah Nusantara membuat para raja berlomba-lomba, menghalalka...