#01

610 28 2
                                    

Malam begitu dingin di langit Ukraina, namun pemuda cantik yang tak lain adalah Dunk harus menemui sahabatnya di sebuah gedung tempat perbelanjaan. Saat menuju gedung entah mengapa perasaannya jadi tidak enak sambil memandang gedung berlantai dua belas itu.

Bangunan itu terletak tak jauh dari kota Odessa. Selain orang Arab, Malaysia, China dan Korea, lima puluh persen yang tinggal disini adalah pedagang Thailand.

Saat memasuki lift terdengar suara jeritan kesakitan di dalam sana yang membuat jantung Dunk berdegup kencang. Tak lama kemudian pintu lift terbuka dan pemandangan yang pertama kali ia lihat adalah seorang pria paruh baya tergeletak tak berdaya di lantai lift dengan berlumuran darah serta iris daging bertebaran di sekitar jasadnya. Pedang dan pisau menancap sempurna di tubuh itu membuat Dunk kaget dan terkejut setengah mati. Dunk mematung di tempat saat tiga orang berpakaian hitam lengkap dengan kacamata dan maskernya menoleh kearahnya.

Apakah ini mimpi atau apa? Apa ia menjadi saksi dari sebuah aksi pembunuhan? Entah mendapat kekuatan darimana Dunk langsung berlari sekuat tenaga saat mereka mulai mendekatinya. Dunk merasa seperti mereka mengikutinya.

"Astaga apa yang harus ku lakukan? Kemana aku harus pergi? Apa aku akan mati sekarang juga?". Pikiran Dunk mulai membayangkan hal yang tidak-tidak.

Dunk mulai histeris dan ingin berteriak minta tolong, mungkin saja ada petugas keamanan disekitar sini, namun suaranya serak hingga tak mampu mengeluarkan sepatah katapun. Disaat dia mulai menyerah dan nafasnya terasa sesak, tiba-tiba saja ada yang membekap mulutnya lalu menarik tubuhnya dari arah samping. Dia membawa Dunk ke sebuah ruangan yang lumayan gelap, lalu orang itu menyembunyikannya Dunk dalam pelukannya.

"Sttt, diamlah. Nanti kita akan ketahuan". Suara bass pria iru menggema di telinga Dunk, terdengar lembut dan pelan saat mengucapkan perkataannya tadi.

Apa dia bermaksud baik?

Dia masih membekap mulut Dunk dengan memasang raut waspada melihat ke arah luar. Dunk memberanikan diri mendongak ke atas untuk melihat wajahanya. Cahaya dari ruangan yang begitu redup namun Dunk samar-samar dapat melihat garis wajah yang nyaris mendekati kata sempurna itu. Dan pemandangan yang pertama kali Dunk lihat adalah hidung mancung yang begitu sempurna melekat diwajah pria itu serta bibir yang terlihat berisi begitu nampak indah. Rahangnya juga sangat tegas.

Apa dia jelmaan seorang dewa?
Mengapa dia begitu tampan?

Merasa dipandangi oleh Dunk, sosok itu langsung menoleh cepat kearahnya.

Dunk terpana melihat mata milik pria ini. Siapapun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta detik itu juga. Mata berwarna hitam pekat dan tatapannya yang tajam memberi kesan mempesona. Walaupun ruangan cukup gelap, namun mata itu seolah menjadi sumber cahaya tersendiri.

"Jika di tanya polisi bilang saja kau tidak tau apapun, mengerti?". Dan itulah perkataan terakhir yang Dunk dengan karena menit berikutnya kepalanya terasa pusing dan semuanya berubah menjadi hitam.

Setelah kesadarannya kembali, Dunk sudah berada di kantor polisi. Seragam polisi Ukraina berwarna abu-abu tua, belakangan ini citra polisi kurang baik dimata masyarakat, kesan pertama Dunk juga kurang baik kepada mereka hingga Dunk memandang rendah mereka.

Dunk mulai melihat sekeliling dan baru menyadari jika ia berada di dalam sebuah ruangan introgasi yang tertutup dengan sebuah meja dan dua buah kursi. Otaknya mulai bereaksi, ingatannya pulih perlahan dan bayangan mengerikan itu menghiasi kepalanya, membuat Dunk merasa ngilu disekujur tubuhnya.

Polisi di depan Dunk tidak menunjukkan rasa simpati sama sekali. Setelah batuk-batuk sebentar, polisi pribumi ini mulai mengintrogasi Dunk menggunakan bahasa inggris.

"Nama?"

"Dunknatachai". Dunk memaksakan diri untuk menegakkan kepalanya.

"Kewarganegaraan?".

"Thailand".

"Status?".

"Mahasiswa music Negeri Odessa".

"Alamat?".

Dunk menyebutkan alamat tempat tinggalnya saat ini, namun polisi itu nampak mengerutkan kening.

"Kenapa alamatmu berbeda dengan yang ada di Visa?".

"Karena saat mengajukan Visa, tidak ada seorangpun yang memberitahuku jika tempat tinggalku ada kecoa dan tikus". Ucap Dunk berterus terang.

Polisi itu nampak menahan tawa lalu berdehem pelan.

"Apa anda tidak pernah tinggal di asrama mahasiswa?". Tanya Dunk.

Raut muka yang awalnya dingin berubah menjadi santai. Dunk baru menyadari jika lelaki yang duduk di depannya ini adalah seorang pria Ukraina yang tampan.

"Baiklah, ceritakan semua kejadian yang kau lihat di tempat kejadian!".

Menghadapi pertanyaan yang memojokkan, Dunk hanya menanggapinya dengan jawaban yang sama dengan sebelumnya.

"Aku tidak melihat apa-apa".

Lagi-lagi suara bass yang mengandung magnet yang menyejukkan hati terus terngiang di telinga Dunk.

'sttt, diamlah. Nanti kita bisa ketahuan..'

'Jika ditanya polisi, bilang saja kau tak tau apapun, mengerti?'

Dunk berusaha keras mengingat laki-laki itu, mengingat dia yang menggunakan mantel warna coklat tua.

Hari sudah larut malam ketika Dunk meninggalkan kantor polisi dan dihadapannya sudah berdiri sahabatnya, Phuwin dengan wajah yang tidak terlukiskan.

"Dunknatachai, nyawamu sungguh besar". Phuwin menghampiri Dunk sambil tersenyum. Namun tatapan tidak tertuju pada Dunk melainkan kebelakangnya. Dunk menoleh dan mendapati polisi tampan yang tadi menginterogasinya.

"Kau melupakan paspormu". Dunk menerima paspor itu lalu memasukkannya ke dalam saku baju sebelum berterima kasih. Setelah itu Dunk menarik tangan Phuwin dan pergi dari sana.

"Haishh, kenapa buru-buru sekali?". Phuwin memasang wajah tak sukanya dan berusaha melepas genggaman tangan Dunk. Namun Dunk tak peduli dan terus menarik lengannya.

Dunk ingin segera pergi dari tempat ini namun tubuhnya limbung dan kepalanya kembali pusing. Phuwin nampak panik saat melihat Dunk dan ia langsung memapahnya. Dunk tidak sadar Phuwin membawanya kemana sampai sebuah suara menyadarkannya.

"Tunggu, Dunk. Visamu hampir jatuh tempo, ini harus segera diperpanjang".

Dunk menoleh cepat ke kanan dan kekiri. Ternyata Dunk kembali ke kantor polisi tadi, Dunk bingung mengapa bisa kembali ke tempat ini.

"Aishhh, yang benar saja". Ini pasti perbuatan Phuwin.

Langit malam begitu cerah, namun cahaya bulan itu semakin meredup dan semuanya menjadi gelap.

Begitu tersadar, Dunk melihat sekelilingnya berwarna putih.

"Dimana aku?".

"Dunk, akhirnya kau sadar juga". Ujar sebuah suara yang sangat Dunk kenal.

"Phu, aku dimana? Kenapa bisa sampai sini?".

"Kau pingsan selama dua jam. Astaga, kau berhadapan dengan para petarung maut geng mafia. Untung saja kau tidak mati".

Phuwin adalah teman sekelas Dunk waktu sekolah music. Phuwin di kenal sangat dingin dan tak bersahabat. Terlebih setelah tinggal di Ukraina hampir setahun, mulutnya penuh dengan kata-kata kasar.

Tapi tunggu, pertarungan maut antar geng mafia? Sekejap ingatan Dunk pulih kembali. Dunk memeluk Phuwin dan menangis histeris sejadi-jadinya.

"Dokter! Dokter!". Phuwin memeluk Dunk yang tak berdaya sambil berteriak kencang memanggil dokter.

Pergelangan tangan Dunk di cengkeram dengan keras, terasa dingin dan sakit. Perlahan-lahan Dunk menangis tanpa suara. Badannya lemas lalu tertidur mungkin karena pengaruh obat tidur yang disuntikkan oleh dokter.

To be continue....

First Sight // JDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang