#13

30 6 0
                                    

Dunk tidak makan dari pagi dan kini ia sudah merasa sangat lapar. Kini perutnya berbunyi, bunyinya sangat kencang hingga Joong mendengarnya. Joong menoleh pada Dunk lalu tersenyum.

“Aku rasa kita harus pergi makan sekarang. Aku tidak ingin pemuda manis ini mati kelaparan karenaku.”

Dunk melihat jam, sudah pukul tujuh malam dan Dunk menjawab dengan ragu.

“Besok aku masih ada kuliah jadi aku harus pulang.”

Joong tidak mengiyakan ucapan Dunk dan malah menuntun Dunk berjalan ke luar menuju mobilnya.

“Tiba-tiba aku teringat suatu tempat. Kau pasti suka. Ayolah, aku juga hampir mati kelaparan.” Dunk hanya mengangguk dan masuk ke dalam mobil Joong.

Roda mobil menggilas salju di jalanan, mengeluarkan bunyi. Mobil dilajukan menuju ke arah luar Odessa. Diluar jendela terlihat gelap, hanya ada cahaya lampu depan mobil yang menerangi. Terlihat bunga salju yang sedang berjatuhan didepan jalan.

Entah kenapa, Dunk agak takut. Rasanya akan terjadi sesuatu. Dunk sudah tidak tahan lagi untuk bertanya.

“Joong , sebenarnya kita mau kemana?”

“Menjualmu.”

“Apa?”

Wajah Joong tidak menunjukan ekspresi apapun. Dia menjulurkan tangan dan jemarinya yang dingin mengelus leher Dunk.

“Kenapa, kau takut sayang?”

Setiap kali Joong memanggil Dunk dengan sebutan sayang, itu selalu membuat Dunk merasa melayang.

“Takut untuk apa? Aku tau kau hanya bercanda.”

“Kalau aku serius bagaimana?”

“Kupastikan kau akan mati secepatnya.”

“Aishh, menakutkan sekali.” Joong menarik tangannya dari leher Dunk lalu tertawa pelan.

Meskipun Dunk tau Joong hanya bercanda, tapi tetap saja Dunk merasa merinding.

Mobil berhenti di depan sebuah Villa. Dunk mengikuti Joong dari belakang setelah turun dari mobil. Joong menekan bel dan pintu terbuka sedikit lalu perlahan-lahan baru pintu itu terbuka lebar. Yang membuka pintu adalah perempuan pribumi setengah baya.

Joong mencium lengan perempuan tua itu lalu memeluknya. Perempuan tua itu mencium pipi Joong. Mereka berdua berbicara bahasa Rusia dengan cepat, Dunk tidak mengerti sama sekali.

Joong menoleh lalu memanggil Dunk.

“Dunk, kemarilah.”

Dunk berjalan menghampiri Joong dan wanita itu lalu mengulurkan tangan. Joong memperkenalkannya.

“Catherine, kenalkan dia adalah Dunknatachai.”

Wanita yang bernama Catherine itu tersenyum lalu mengangguk.

“Pacarmu sangat cantik, Justin.” Dia berkata kepada Joong dan Joong hanya tersenyum sambil menggaruk tengkuknya.

Catherine membawa mereka masuk ke dalam rumahnya. Dunk perhatikan tubuh Catherine agak miring, sebelah kakinya seolah diseret, jalannya tidak normal tetapi dia berusaha berjalan tegap.

Dunk segera mencubit lengan Joong untuk meminta penjelasan.

“Karena kebocoran nuklir Chernobyl.” Ujarnya berkata dalam bahasa Thailand.

Dunk melongo menatapnya. Joong menggeleng dan mengisyaratkan berekspresi santai.

Dunk pernah melihat foto itu, kesannya sangat mendalam. Tidak ia sangka setelah kejadian itu berlalu belasan tahun, Dunk masih bisa melihat korbannya.
Ketika masuk ke dalam villa, terdengar suara kayu berderit. Ruang tamu kosong, hanya ada beberapa perabot sederhana. Angin menghembus dari celah jendela menandakan suhu di luar ruangan agak dingin.
Perempuan tua itu berdiri dan berbicara pada Joong. Dunk hanya mengerti kata makan dan dapur.

First Sight // JDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang