Pada bingkai besar keluarga yang terpasang di dinding itu terlihat foto 6 orang dengan pakaian formal dan senyum yang terlihat. Aruna menatap lekat pada foto dirinya yang tengah tersenyum sesuai arahan fotografer. Jelas itu bukan senyum dari lubuk hati nya, itu hanya formalitas untuk menturuti keinginan mama nya, Milati Yunus Jayabaya.
Secara bergantian dia menatap foto mama nya, kakak perempuan nya, abang laki-laki nya, papa nya dan terakhir kakek nya. Aruna memperhatikan senyum yang sedang diperlihatkan oleh mereka, dimata orang asing mungkin foto ini terlihat sebagai foto yang harmonis tapi pada nyata nya semua nya hanyalah formalitas.
"Mengapa bisa setiap 6 bulan sekali foto-foto seperti ini harus dipajang di ruang tamu? Apakah kakek dan papa sama sekali tak keberatan dengan senyum yang seperti ini? Jelas-jelas mereka berdua selalu bermuka datar," tutur batin nya.
Aruna beranjak dari ruang tamu menuju kamar nya yang harus melewati tangga melingkar. Tubuh nya terasa lelah karna seharian mengikuti kemana papa nya pergi, ini juga salah satu perintah papa nya di dalam kehidupan nya.
Kata papa nya, "Untuk pembelajaran mu dimasa depan nanti. Akan ada masa nya kamu, kakak dan abang mu yang akan memimpin perusahaan ini. Jadi jangan banyak mengeluh, ikuti saja perintah papa dan kakek mu."
Aruna merogoh tote bag nya untuk mencari kunci kamar nya. Dia memang sengaja mengunci kamarnya kemana pun dia pergi walaupun hanya ke toilet lantai bawah. Bagi nya, kamar adalah privasi. Dia bahkan tidak mengizinkan pembantu rumah tangga untuk sekedar membersihkan kamar nya.
"Baru pulang ya?" celetuk seorang wanita.
Terlihat wanita itu baru selesai mandi dan keluar dari kamar disamping Aruna. Dia adalah kakak perempuan Aruna, nama nya Asmara Wijaya Diningrat.
Aruna menatap jengah kearah kakak perempuan nya. Bisa-bisanya Asmara keluar kamar hanya menggunakan handuk yang meliliti tubuh nya. Walaupun sesama perempuan, Aruna merasa risih dengan penampilan kakak nya yang satu ini.
"Apa gak bisa pakai baju dulu kak? Dibawah banyak karyawan papa, gak etis banget kalau mereka lihat kakak yang begini," ujar Aruna.
"Etis-etis aja kok, kan gak telanjang," jawab Asmara dengan santai.
Aruna menghela nafas kasar. Dia ingin membalas ucapan kakak nya namun saat ini dia terlalu letih untuk berdebat.
"Terserah kakak, aku mau istirahat," lontar Aruna.
Handel pintu kamar nya pun terbuka. Saat dia hendak menutup pintu kamar dengan cepat kaki Asmara mencegat pintu kamar Aruna.
"Makan dulu lah, tadi aku dengar dari mama ada hal yang mau disampaikan kakek," ajak Asmara.
Aruna menatap bete kepada Asmara, dia hanya ingin istirahat dan tak ingin diganggu siapa pun.
"Aku gak lapar!" ketus Aruna.
"Sana deh, aku mau istirahat," usir nya dan menepis kaki Asmara.
Pintu pun terkunci, terlihat wajah tak senang Asmara atas sikap kasar adik bungsu nya itu.
Aruna melemparkan kesembarangan tempat tote bag yang dibawa nya. Dia menyalakan ac pada suhu yang paling dingin lalu merebahkan tubuh nya tanpa mengganti terlebih dahulu baju yang dikenakan nya.
Aruna menatap langit-langit kamar nya yang bergambarkan awan itu untuk waktu yang lama. Alibi nya saja yang ingin beristirahat padahal saat ini pikiran nya sedang melalang buana.
"Ketika aku melihat awan ini, aku jadi teringat tentang seseorang. Hanya karna dialah aku sampai menangis berhari-hari meminta pada mama untuk langit-langit kamar ku diubah menjadi gambaran awan," suara batin nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Merasa Tak Pantas Untuk Siapapun
Spiritual🔺🔺KARYA ASLI KU🔺🔺 Terlahir di keluarga konglomerat tak menjamin hidup seorang Aruna Kencana Diningrat akan bahagia saja. Rumah yang besar, harta yang melimpah, kebutuhan yang terpenuhi, keinginan yang bisa diraih, kesenangan duniawi yang bisa di...