1

13 2 0
                                    

"Sebelum aku bener-bener pergi dari hidup kamu—apa kamu mau lakuin sesuatu untuk yang pertama dan terakhir kali nya?"


***


Tatjana's


Ana menatap kalendar lamat-lamat. Rupanya sembilan belas tahun itu lama, tapi sekaligus cepat untuknya. Tanpa disadari, setetes air mata lolos begitu saja dari mata Ana, membasahi pipi. Ia tersenyum masam, kemudian mengedarkan pandangan matanya ke seisi kamar. Gurat ekspresi getir pada wajahnya yang menawan itu tampak jelas melalui pantulan kaca.

Setelah sembilan belas tahun bersama, dan menipu banyak orang dengan kisah kehangatan rumah tangganya—kini Ana harus siap untuk berpisah dengan Dio.

Semuanya akan selesai, dan memang harus selesai.

Bahkan setelah sekian lama bersama, tatapan mata Dio yang ditujukan kepadanya tak pernah berubah sedikitpun. Masih sama. Dingin, dan kosong. Tak tampak adanya perasaan cinta, barang sedikitpun.

Ana mengusap jejak air mata di pipinya tatkala mendengar suara pintu kamar yang diketuk dari luar.

Selama usia pernikahan mereka, tak pernah sekalipun ia dan Dio saling melanggar privasi satu sama lain. Meski tidur di dalam satu kamar, dan di atas ranjang yang sama—baik Ana, maupun Dio sepakat untuk tetap mengetuk pintu saat salah satu dari mereka tengah berada di dalam kamar, dan satu yang lain berada di luar.

Yakin kalau seseorang di balik pintu tersebut adalah Dio, Ana memutuskan untuk beranjak dari tempat duduknya. Sambil mengusap dada, Ana berjalan menuju pintu. Berniat membukakan pintu untuk Dio, seperti biasa.

"Mau ngomongin apa?" tanya Dio begitu Ana membuka pintu. Beberapa saat lalu, Ana memang sempat meminta Dio untuk segera pulang, meski tahu bahwa pria itu sedang sibuk bermain tenis bersama putra mereka berdua.

Kepala Dio menyebul. Muncul di hadapan Ana begitu saja. Ada keringat di di keningnya—Ana tebak, mungkin permainan tenis malam ini cukup panas. Dilihat dari irama naik dan turunnya dada Dio, napas pria itu masih sangat tersengal-sengal.

Ana tak kunjung bersuara. Ia tak berniat menjawab sebelum Dio masuk. Ana pindah ke sisi lain dan membuka pintu itu sepenuhnya. Mempersilahkan Dio masuk tanpa sepatah kata pun. Alasannya cukup sederhana. Ana tak ingin Zaid—putra mereka berdua yang mulai beranjak dewasa, nantinya mendengar apa yang ingin Ana katakan malam itu.

Dio masuk, lalu Ana mengunci pintu.

"Tentang kesepakatan kita delapan belas tahun lalu.... Zaid sebentar lagi ulang tahun ke-delapan belas. Dan, sesuai sama apa yang pernah kamu bilang, aku boleh mengajukan gugatan cerai setelah itu."

"Kamu gila...."

Ana mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa?" Merasa bingung atas respon Dio barusan.

"Sembilan belas tahun usia pernikahan kita, dan kamu masih punya pikiran untuk cerai?" tanya Dio, memastikan.

"Kamu sendiri yang dulu bilang.... Lagi pula pernikahan kita nggak seperti pernikahan yang layak untuk dipertahankan. Aku nggak bisa kalau harus seumur hidup, tinggal sama orang yang nggak pernah cinta sama aku."

"Saya cinta sama kamu."

Hening. Tangan Dio terulur ke depan, berusaha meraih pundak Ana, tapi Ana sengaja menghindar. Menciptakan jarak yang cukup lebar di antara mereka.

Journey on AugustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang