2

14 2 0
                                    

Dia bilang, pernikahan kami nggak seperti pernikahan yang layak untuk dipertahanin.


***


Den Dio's


Dio berusaha memfokuskan dirinya. Mengemudi mobil di tengah padatnya kota Jakarta, walau dengan keadaan marah. Ingatan tentang permintaan Ana kemarin malam tak henti-hentinya muncul di kepala Dio, bahkan sejak semalam.

Kalau boleh jujur, Dio bingung. Benar-benar bingung sampai ia merasa sangat frustasi, dan tak bisa tenang. Pertama, Ana tiba-tiba saja mengungkit percakapan mereka yang sudah belasan tahun lamanya, dan berencana untuk menggugat cerai dirinya dalam waktu dekat. Kedua, perihal 30 hari—permintaan Ana. Bagaimana bisa, wanita itu dalam keadaan sadar, minta untuk diperlakukan sebagai seorang istri olehnya? Batin Dio, tak habis pikir.

Kedua alis Dio lagi, dan lagi, menukik tajam. Kerut di keningnya lantas tampak sangat nyata. Memangnya, Ana pikir—apa yang Dio lakukan selama ini? Memangnya, selama ini Ana merasa diperlukan seperti apa oleh dirinya? Kalau bukan sebagai seorang istri, lalu apa? Teman? Tetapi teman tak mungkin tidur berdua dalam satu ranjang yang sama.

Kebingungan yang tak kunjung usai itu, akhirnya mengantarkan Dio pada sebuah titik—perasaan kesal, seperti sekarang ini. Saking kesalnya, suhu udara di dalam mobil terasa sangat panas. Dio memutar kontrol pendingin mobilnya hingga ke titik suhu paling rendah. Berharap suhu udara yang dingin, dapat meredam perasaan kesalnya itu.

Namun, nihil. Dio sama sekali tak merasa lebih baik dari sebelumnya. Lantas, ia memilih nekat, melampiaskan rasa kesal itu kepada para pengguna jalan lain. Dio menekan klakson berkali-kali, meski ia tahu betul bahwa di depan sana, lampu merah tengah menyala dan para pengemudi kendaraan bermotor yang hendak melintas masih harus menghitung mundur setidaknya 15 detik lagi.

"Bisa berhenti menggila, nggak?!"

Dio mengaduh sakit, tepat sesaat setelah tangannya dihadiahi pukulan keras oleh Matius.

Teman Dio yang satu itu sudah duduk di sampingnya cukup lama. Mengamati perubahan ekspresi wajah Dio sejak beberapa saat lalu. Matius bahkan tak diajak bicara sedikitpun, meski sudah dibawa mengelilingi kemacetan kota Jakarta selama beberapa jam.

"Kalau mau cerita, yang niat!" titah Matius. Ia sudah mulai jengah, pasalnya Dio masih belum menceritakan keluhannya sejak tadi. Dio benar-benar hanya sibuk menggerutu sendirian.

Dio menghela napas panjang. "Ana...." Kata-katanya menggantung di udara, tatkala melihat lampu lalu lintas di depan sana sudah menyala hijau.

"Iya, kenapa sama istri lo? Ada masalah apa?" sahut Matius.

"Dia bilang, dia mau cerai."

Setelah mendengar itu, Matius langsung menelan salivanya sendiri. "Tiba-tiba?" Kali ini, tubuh Matius sedikit lebih condong ke arah Dio yang tengah mengemudi. Seakan-akan mereka tengah berada di keramaian, Matius berbisik. "Lo ketahuan?"

Saat itu juga, mata Dio membelalak. "Ketahuan apa?!" cetus Dio. Ia yakin tak pernah melakukan hal-hal buruk di belakang Ana.

Matius mengedikkan bahunya. "Ketahuan kalau pernah se-cinta mati itu sama istri teman lo sendiri...," kata Matius, lalu kembali menarik jarak.

"Gila! Mana mungkin? Persoalan itu udah gue tutup rapat-rapat, sejak bertahun-tahun yang lalu! Nggak mungkin kalau sampai Ana tahu. Gue sendiri bahkan hampir lupa—kalau lo nggak tiba-tiba bahas kayak gini."

Journey on AugustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang