What's Up With His Heart?

133 12 6
                                    

Ucapan Darren kemarin tidak bisa kupercaya. Namun karena orang itu jarang sekali bercanda, maka dianggaplah serius ucapannya. Aku terengah, menghirup udara segar. Sepertinya otakku kekurangan oksigen sejak semua pengakuan orang-orang tersayang milikku. Lalu apa selanjutnya? Aku hanya bisa berdiam menenangkan diri di atas sini, melihat lembutnya gumpalan awan yang melayang.

Dwayne. Lelaki aneh itu biasa saja, tidak ada yang spesial. Bagaimana bisa Darren mengatakan bahwa Dwayne adalah lelaki yang pantas untukku? Cinta sejati. Apa itu? Makanan? Baiklah, lupakan.

Sepi. Ini terlalu sepi. Entah sejak kapan aku membenci kesunyian ini. Aku hanya, bosan. Mungkin aku akan turun, bergabung dengan yang lain.

"Hai! Helloo! Haloo! Holaaa! Buenos Dias! Ohaiyou Gozaimasu! Selaamaat pagii!" Aku menyapa setiap orang yang melintas. Pandangan aneh dan mencemooh sukses mendarat kepadaku. Senggolan-senggolan kasar membuatku terhentak mundur beberapa kali. Membosankan sekali. Lalu sekarang, apa yang harus kulakukan?

Spidol? Yes, aku membawanya. Sekarang ayo kita menuju mading sekolah! Semoga saja objeknya bagus-bagus untuk diberi hiasan.

▶▶▶

"Aaahhh! Mukakuuu!" Jerit Ariana histeris. Aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan sambil terkikik ria.

"Itu hanya foto," timpal Dwayne acuh tak acuh. Orang itu. Ariana protes, merajuk memaksa Dwayne untuk mengerti namun tidak bisa.

Melihat mereka berdua di tempat yang sama membuatku pusing. Apalagi Dwayne, orang itu muncul di waktu yang sangat tidak tepat. Membuat perutku ikutan mulas. Sebelum aku memutuskan untuk pergi ke toilet, Ariana memergokiku berdiri di kejauhan. Mendekatiku dengan emosi yang meluap-luap.

Wops, waktunya untuk pergi-

"Hei! Jangan coba-coba kabur!" Bentak Ariana yang sayangnya tidak membuatku gentar.

"Apa?" Tanyaku acuh.

"Lo yang bikin kehancuran mading itu, kan?!" Bentaknya kembali.

"Kalo iya, kenapa?" Jawabku membenarkan rambut.

Ariana berteriak memarahiku seperti biasa. Emosinya meluap dan aku hanya bisa tertawa dalam hati. Diam dan memutar mata, muak atas segala ocehannya. Namun tangannya kini tengah melayang di udara bersiap untuk menampar pipi indahku.

Slap.

Gagal. Tubuhku tertarik kebelakang, tangan kotor Ariana hanya bisa menampar angin. Aku tertawa terbahak sebelum menyadari bahwa ternyata ada yang menarik tanganku untuk menghindar dari tamparan tersebut.

Penyelamat itu menarikku menjauh dari kerumunan. Berlari sambil berpegangan tangan, seperti film clićhe yang sering Stefano tonton.

Pelarian kami terhenti setelah sampai di rooftop. Aku menghela nafas panjang. Ingin sekali kumaki dia karena mengajakku berlari di saat aku sedang mager.

Aku memalingkan pandangan ke arah langit. Cuaca hari ini sangat cerah, berbeda dengan kemarin. Gumpalan awan hitam yang menjatuhkan butiran-butiran es batu menyakitkan.

"Apa gue harus berterimakasih?" Tanyaku masih menatap langit.

Orang itu terlihat kebingungan dengan pertanyaan dadakanku, "buat yang tadi,"

"Oh, aku hanya sekadar lewat," jawaban itu membuat mulutku membentuk huruf o. Samar-samar, aku mendengarnya berkata, "maaf tentang kejadian kemarin," suaranya sangat lirih, aku sampai hampir tidak bisa mendengarnya.

"Dwayne," kemarin... aku baru ingat, niatku lusa kemarin untuk menemui Dwayne, namun tiba-tiba moodku berubah begitu saja, seperti sekarang.

Orang itu mengangkat sebelah alisnya, memberiku tatapan bertanya.

Cotton CandyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang