Truth

240 13 5
                                    

Aku melenggangkan kaki menuju stan kelas Walter. Aku ingin menemuinya sebentar. Sekalian melihat seberapa jauh pembangunan stan.

Namun, tanpa disangka Dwayne melewatiku seketika dan berjalan menuju kolam belakang sekolah. Tempat yang sama seperti yang didatanginya waktu itu.

Heran adalah satu kata yang tepat untuk menggambarkan perasaanku. Perlahan, aku mendekatinya yang terlihat sedang berbicara dengan ponselnya.

Aku berhenti saat beberapa langkah agak dekat darinya. Memperhatikannya dari belakang dan diam terpaku. Aku seperti ingin menunggunya berbalik menatapku ketimbang aku memanggil namanya.

Seolah Dwayne mendengar bisikan pikiranku, dia menoleh menatapku dengan wajah terkejutnya. Masih dengan ponsel yang menempel di telinganya, seketika dia menetralkan ekspresi wajahnya yang kemudian berubah menjadi senyuman manis untukku. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan senyuman itu memang ditujukan ke arahku.

"Mencariku princess?" Tanyanya memberikan satu kedipan.

"Hai," aku hanya bisa tersenyum menyapanya.

Iya juga, niat awalku adalah untuk menemui Walter. Kenapa aku malah berubah haluan?

"Denise, aku..."

"Maaf, gue harus pergi," hanya itulah kalimat yang keluar dari mulutku.

Aku memotong kalimatnya yang belum selesai. Kupikir, mungkin bukan hal yang penting. Lebih penting untuk menemui Walter daripada Dwayne.

Itu Walter! Sedang berjalan membawa cotton candy bersama Darren. Asik, pasti itu buatku!

Aku berlari menghampiri Walter dan Darren, meninggalkan Dwayne yang entah sekarang sedang apa.

"Kakak!" Aku berteriak mencoba meraih cotton candy yang dibawa Walter.

"Hey! Ini bukan buat lo!" Jerit Walter menjauhkan cotton candy yang dibawanya dari jangkauanku.

"Naaah," Darren ikut menggeleng, melarangku untuk mengambilnya.

Aku memanyunkan bibirku sebal. Walter meraih rambutku dan mengacaknya. Aku menggeram kesal lalu membenarkan rambutku yang berantakan akibat ulahnya.

"Entar deh, gue kasih. But, not now girl," katanya sambil berlalu dari hadapanku.

Bagus. Sekarang dia menghilang. Nah, sekarang aku malah ingin menemui Stefano.

Aku berjalan mencari Stefano. Saat ketemu, dia kudapati sedang bercengkrama dengan Arvey. Tapi, muka Stefano serius banget. Baru pertama kali dia menampakkan wajah seperti itu. Aku menghampiri Stefano dan Arvey. Sekarang tujuanku memang terombang-ambing, nggak jelas.

"Hai Kak Stef, Arvey! Lagi apa?" Tanyaku bersemangat.

"Nggak usah nimbrung gaje gitu, deh," Stefano memutar bola matanya.

"Hai tuan pu- eh, Denise," sapa Arvey masih agak kagok.

"Kenapa sih semuanya gitu banget sama gue hari ini? Sebel." Aku marah dan pergi lagi.

"Tu-tunggu!" Stefano menahanku.

Sekarang apalagi huh? Aku melemparkan pandangan apa-lagi sambil menyipitkan mataku.

"Tadi lo nggak denger kita lagi ngomong apa, kan?" Tanya Stefano serius.

"Palingan ngomongin jorok. Nggak penting idih," jawabku menggidikkan bahu kemudian berlalu dari pandangan mereka.

Kini, harapan satu-satunya hanya tinggal di Micky. Kalau dia tidak mau aku ajak ngomong, I'm done. Aku mau ngerjain stand walaupun aku tau aku nggak dibutuhin disana. Atau aku akan ke rooftop saja. Mau santai kayak di pantai.

Cotton CandyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang