7. Ancaman Yang Nyata

2.1K 21 0
                                    

Paginya, ketika aku baru selesai mandi dan berpakaian, aku merasakan sesuatu yang aneh dengan pakaianku. Semua bra-ku tiba-tiba terasa kekecilan! Aku mencoba mengenakan beberapa bra yang berbeda, tapi semuanya terasa sesak dan tidak nyaman.

Dengan bingung, aku berdiri di depan cermin dan memeriksa diriku sendiri. Aku terkejut melihat bahwa ukuran dadaku tampak membesar secara misterius. Aku ingat dengan jelas, beberapa hari yang lalu ukuran bra-ku hanyalah 32A. Namun, sekarang, ukuran itu tidak lagi muat. Sepertinya dalam beberapa hari saja, dadaku telah membesar.

Apa mungkin karena Si Kakek meremas-remas payudaraku setiap hari? Apakah ia punya kekuatan magis untuk memperbesarnya? Ini jelas bukan perubahan yang biasa atau wajar.

Setelah mencoba beberapa bra dan menyadari bahwa tidak ada satu pun yang muat, aku memutuskan untuk pergi ke kota dan membeli bra baru dengan sisa-sisa tabunganku. Aku mengenakan pakaian yang longgar untuk menutupi ketidaknyamanan ini dan bersiap-siap untuk berangkat.

"Bibi, neng mau ke kota sebentar. Ada yang perlu dibeli," kataku pada bibi saat sarapan.

Bibi memandangku, "Kamu mau beli apa, Neng?"

Aku ragu sejenak, lalu memutuskan untuk jujur. "Bra-ku semua kekecilan, Bi. Aku butuh yang baru."

Bibi tersenyum lembut. "Oh, kirain teh, kamu mau nengokin Jamal."

"Nengokin Jamal? Emang kenapa dia? Sakit?"

Bibi menjawab, "Jamal kecelakaan pagi-pagi sekali pas pulang dari ngantar adiknya ke Lembang Kota. Kaki Jamal patah."

Aku terkejut mendengar kabar itu. Tanpa berpikir panjang, aku segera bergegas ke rumah sakit. Aku merasa khawatir dan cemas.

-----

Sesampainya di rumah sakit, aku langsung menuju ke ruang tempat Jamal dirawat. Di sana, aku melihat Jamal terbaring di tempat tidur dengan kaki yang terbalut gips. Wajahnya terlihat lelah dan sedikit pucat, namun senyum hangat masih menghiasi ketika berbincang dengan ayahnya di ruang rawat itu.

Aku tak sampai hati untuk masuk menjenguk. Tapi aku melihat adik Jamal sedang duduk sendiri di ruang tunggu. Aku mendekatinya dan menanyakan keadaan Jamal.

"Teh Lilis, teteh datang," katanya dengan suara pelan tapi hangat.

Aku mendengarkan dengan cermat, merasa ngeri mendengar detail kecelakaan itu. Setelah beberapa menit berbincang, aku teringat sesuatu yang harus kutanyakan pada adik Jamal.

"Aku ingin tanya sesuatu. Apa kamu tahu arti dari kata 'ngarecah'?"

Adik Jamal memandangku sejenak sebelum menjawab, "Ngarecah itu artinya mematahkan, Teh."

Mendengar penjelasan itu, aku merasa ngeri. Ingatanku langsung kembali ke malam sebelumnya. Apakah ini ada hubungannya dengan ancaman hantu Kakek yang tidak ingin siapapun memilikiku? Ancaman itu terbukti nyata, dan kecelakaan Jamal mungkin adalah peringatan dari hantu itu.

 Apakah ini ada hubungannya dengan ancaman hantu Kakek yang tidak ingin siapapun memilikiku? Ancaman itu terbukti nyata, dan kecelakaan Jamal mungkin adalah peringatan dari hantu itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Untung saja patah kaki Jamal tidak permanen. Menurut dokter, Jamal seharusnya bisa berjalan normal lagi setelah 6-12 bulan.

Setelah menghabiskan beberapa waktu di rumah sakit, aku kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Aku merasa takut dan bingung, tidak tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya. Ancaman hantu Kakek ternyata nyata, dan aku tidak tahu bagaimana menghadapi ini semua.

Sore harinya, aku duduk di teras rumah, mencoba mencerna semua yang terjadi. Angin sejuk Lembang menyapu wajahku, tapi tidak cukup untuk menenangkan kegelisahan di hatiku.

----

Suasana malam di desa sangat berbeda dengan di kota. Di kota, jam 10 malam seperti ini, masih ramai dengan suara kendaraan dan aktivitas orang-orang yang berlalu-lalang. Lampu-lampu jalan yang terang benderang membuat kota tetap hidup meskipun malam sudah larut.

Namun, di desa, jam 10 malam adalah saat ketika segalanya menjadi sunyi. Hanya ada suara jangkrik dan hembusan angin yang sepoi-sepoi. Tak ada orang yang lalu-lalang.

Malam itu, aku tak sabar untuk bertemu Kakek. Aku memutuskan untuk tidur lebih awal. Aku berbaring di tempat tidur, menarik selimut hingga ke leher, ada tekad kuat dalam hatiku untuk menghadapi Kakek. Aku ingin berbicara dengannya, memohon agar ia tidak lagi mengganggu kehidupan Jamal.

Aku memejamkan mata dan berharap tidur datang dengan cepat, agar aku bisa segera bertemu dengan Kakek dan mengutarakan permohonanku.

Beberapa saat kemudian, aku mulai merasakan kantuk datang. Mataku semakin berat, dan aku tenggelam dalam kegelapan yang lembut. Perlahan-lahan, kesadaranku mulai memudar, dan aku merasa tubuhku semakin rileks. Dalam tidur, aku berharap pertemuan dengan Kakek akan segera terjadi.

***

Kurasakan ada tangan-tangan nakal yang menggerayangi tubuhku. Hmmm ini pasti kakek, pikirku. Masih terkantuk-kantuk, ku paksakan mataku untuk terbuka. Ku pandang langit-langit kamar itu. Lalu ku lihat tempat di mana Sari harusnya berada. Sari tak ada di sana.

Tapi... Tunggu dulu...

Mengapa kamar ini seperti biasa saja? Kemana cahaya merah yang selalu setia menemani Kakek setiap kali ia hadir untuk melakukan hal yang tidak senonoh padaku?

Dengan cepat ku tengok ke arah kakek. Namun dengan cepat tangannya membungkam mulutku.

Dan... Itu bukan tangan kakek!

Itu... Itu adalah tangan Mang Usep!

Mang Usep sedang menggerayangi tubuhku! Pahaku juga ditindihnya hingga tak bisa bergerak.

Apa yang ia lakukan?

"Ssst...! Jangan berisik, Neng! Nanti Bibi kamu bangun!" Bisiknya.

Aku mencoba teriak. Tapi bungkaman nya sangat rapat di mulutku.

"Neng! Jangan berisik! Bukannya ini yang kamu mau?!"

Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat.

"Gak usah pura-pura, Neng! Malam itu, waktu kamu nunjukin tetek ke Mamang, bukannya kamu pingin diginiin sama Mamang?!"

Lagi-lagi aku menggelengkan kepalaku dengan cepat.

Wajah Mang Usep berubah dari yang tadinya seperti orang sedang nafsu, menjadi bengis. Ia mencoba untuk menyingkap gaun tidurku dengan satu tangan. Setelah berhasil, ia pun hendak membuka sarungnya.

Tapi.... Di saat itu lah... Kakek datang.

Kulihat bayangan hitam itu muncul dari belakang Mang Usep. Membesar. Semakin besar tiap detiknya. Cahaya di kamar itupun memerah.

Tiba-tiba kakek bersuara, "Tong ngaganggu kabogoh aing!"

Suaranya menggelegar! Tak seperti biasanya.

Mang Usep mendengar itu dan memalingkan wajahnya untuk melihat siapa yang berteriak di belakangnya.

Namun, belum sempat Mang Usep melihat bayangan Kakek, tubuh Mang Usep terlempar ke dinding! Kepalanya terbentur. Tubuhnya jatuh lemas di lantai!

"Tong ngaganggu kabogoh aing!" Lagi-lagi Kakek mengucapkan itu dengan suara menggelegar.

Saat itu juga, tubuh Mang Usep seperti tremor. Seperti orang yang sedang terkena serangan epilepsi. Mulutnya terbuka lebar. Matanya hanya putih saja, tak terlihat sedikitpun pupilnya.

"AAAAHH!" aku berteriak sekencang-kencangnya karena ketakutan melihat itu.

Sekali lagi aku berteriak histeris.

Lagi.

Dan lagi.

Seketika itu juga, Bibiku membuka pintu dengan cepat. Kakek langsung pergi sesaat sebelum bibiku masuk.

Bibiku berteriak histeris melihat keadaan suaminya. Kami berteriak bersama.

🔞Tumbal Untuk Kakek🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang