8. Selamat Tinggal, Lembang

1.8K 19 0
                                    

Mang Usep sedang dirukiyah oleh beberapa ustad di kamar sebelah, termasuk Ustad Salam, ayah Jamal. Dari dalam kamar, terdengar lantunan ayat-ayat suci dan suara Ustad Salam yang memimpin rukiyah dengan penuh khidmat.

Sementara itu, aku dan bibiku duduk di kamar bibi. Bibi masih menangis, wajahnya pucat dan matanya merah. Aku duduk di sampingnya, mencoba menenangkan meski hatiku juga penuh dengan kekhawatiran.

"Lis, sekarang jelasin ke bibi. Gimana ceritanya bisa begitu?" tanya bibi dengan suara parau. Tangannya menggenggam erat sapu tangan, dan air matanya terus mengalir.

Aku menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kata-kata.

Akhirnya, aku beranikan diri untuk bercerita panjang lebar. Dari mulai pertama kali bayangan hitam yang ternyata adalah Kakek, kemudian hantu itu melakukan hal tak senonoh padaku, Kakek cemburu pada Jamal, lalu kaki Jamal patah, sampai kejadian semalam, saat Mang Usep hendak memperkosa aku, namun Kakek membelaku.

Bibi memandangku dengan tatapan yang tidak percaya. "Neng! Maneh ngomong naon??? Gak mungkin Mamang kamu mau perkosa kamu! Mana mungkin? Dia Mamang kamu! Dia gak mau sama bocah ingusan kayak kamu!!"

Aku heran sekali, mengapa bibiku tidak mempercayai aku? Apakah aku pernah berbohong padanya sebelumnya?! Rasanya tidak.

"Ini pasti karena kamu yang ngerayu Mamang kamu ya? Hah? Ngaku kamu!"

"Nggak, Bi. Aku gak pernah ngerayu Mamang"

Lalu dijambaknya rambutku kasar, sambil menghardik, "Halah! Jangan bohong kamu! Buktinya, baju kamu berantakan pas bibi masuk. Mamang juga udah gak pake sarung!"

Aku menangis, "Ya karena itu, Bi. Karena Mamang mau perkosa aku! Sumpah, Bi!"

Memang benar, saat bibi masuk, sarung Mang Usep berada jauh dari kakinya. Kontolnya pun sedang dalam keadaan tegang dan tak ditutupi sehelai benang pun. Bahkan, sampai saat inipun, saat Mang Usep dirukiyah, kontol Mang Usep masih berdiri tegak.

Bibi menamparku, "Bohong kamu!"

"Aku gak bohong, Bi. Kakek itu suka sama aku, makanya dia belain Lilis waktu Mamang mau..."

Belum selesai kalimatku, sebuah tamparan mendarat lagi di wajahku. Kemudian tendangan. Lalu jambakan. Lagi. Lagi. Dan lagi.

Ibu-ibu tetangga yang tadinya ada di ruang tamu, menyeruak masuk untuk menghentikan amukan Bibiku.

"Dasar awewe setan! Pelacur kamu!" Bibi terus menerus menjelekkanku di depan orang banyak.

Aku malu bukan kepalang.

"PERGI KAMU DARI SINI! PERGI!!! DASAR TUKANG FITNAH!!! PELACUR KAMU!!!" Teriak Bibi.

Aku hanya bisa menunduk, tidak mampu berkata apa-apa. Dengan hati yang hancur, kukemasi barang-barangku. Setiap lipatan pakaian, setiap barang yang kumasukkan ke dalam tas terasa berat. Bukan karena berat fisiknya, tapi berat beban emosional yang harus kutanggung.

Ketika aku keluar dari rumah itu, para tetangga berkumpul di luar. Mereka melemparkan cibiran dan tatapan penuh curiga. Mereka lebih percaya pada cerita bibi yang mengatakan bahwa aku merayu suaminya, padahal aku tidak pernah melakukan hal itu.

"Tah... Pelacur kamu yah" bisik seorang ibu dengan nada mencemooh.

"Awewe sialan! Bondon!" tambah yang lain.

Air mata menetes di pipiku, tapi aku menunduk dan terus berjalan. Rasanya seperti ada belati yang menusuk hatiku, tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali. Fitnah yang mereka lontarkan begitu menyakitkan, menghancurkan sisa-sisa kepercayaan diri dan harga diriku.

Aku teringat saat pertama kali datang ke rumah bibi. Aku merasa aman dan disambut dengan hangat. Tapi kini, aku malah diusir seperti orang yang tidak berharga. Lebih menyakitkan lagi, bibi yang seharusnya paling memahami keadaanku justru menuduhku melakukan hal yang tidak pernah terlintas di pikiranku. Ketidakpercayaannya membuat hatiku remuk redam.

Bibi menangis, tapi aku merasa lebih terluka. Bagaimana bisa bibi, satu-satunya keluargaku yang kutemui setelah ibu bekerja di luar negeri, tidak mempercayaiku?

Aku tidak tahu ke mana harus pergi. Rasa putus asa dan kesepian membanjiri pikiranku. Kota Bandung terasa sangat jauh, tetapi aku memutuskan untuk mencoba peruntungan di sana.

Setibanya di kota Bandung, aku merasa lebih tersesat dari sebelumnya. Aku bermalam di emperan sebuah toko, menggigil kedinginan di bawah langit malam yang penuh bintang. Aku menatap langit, bertanya-tanya apa yang harus kulakukan selanjutnya. Hidupku terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung.

Akhirnya, sebuah ide melintas di pikiranku. Aku memutuskan untuk pulang ke Depok. Aku teringat seorang teman lama, Natasha, teman SMP-ku. Dia adalah teman yang baik dan selalu siap membantu. Dengan sisa-sisa tabunganku, aku menghubungi Natasha dan menceritakan situasiku namun tak semuanya kuceritakan. Aku tak mau menceritakan hal-hal yang memalukan. Tanpa ragu, Natasha menyuruhku datang ke rumahnya dan menawarkan tempat tinggal sementara.

Sesampainya di sana, Natasha menyambutku dengan hangat dan memperbolehkan aku menginap di sana bersama ibu dan adik-adiknya.

Malam itu, aku menginap di rumah Natasha. Aku berbaring di tempat tidur yang nyaman, merasa sedikit lega. Setidaknya, aku memiliki teman yang bisa kuandalkan.

🔞Tumbal Untuk Kakek🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang