Prolog: Awan Buram

1.7K 125 9
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Samar-samar, telingaku mendengar bunyi gemuruh angin yang sedikit menggetarkan kusen jendela

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Samar-samar, telingaku mendengar bunyi gemuruh angin yang sedikit menggetarkan kusen jendela. Rasa sakit yang hebat menyerang kepala, membuat mataku kesulitan terbuka sampai-sampai yang kulakukan hanya mengernyit seraya menikmati nyeri yang menyiksa. Tubuhku pegal dan kaku, bahkan untuk sekedar menggerakkan leher pun aku tak mampu.

Yang pertama kali aku lihat ketika mataku terbuka perlahan adalah rupa plafon ruangan yang menghitam karena lembab. Lampunya tak cukup terang, ruangan ini pasti luas sehingga cahaya yang disebarkan menjadi begitu terbatas. Otakku masih bekerja dengan sangat keras. Berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya dan mengapa aku bisa berada di tempat tak dikenal yang bau apek serta pengap?

Malam, jalanan, dan tabrakan.

Kilasan ingatan itu berangsur-angsur dipulihkan sehingga aku bisa menemukan petunjuk lewat memori yang otakku rekam sendiri.

"Ngh," lenguhan itu keluar begitu saja ketika aku memaksa diriku untuk menggerakkan leherku. Pandanganku mengedar. Meja rias tua dengan kaca cermin yang besar, berikut sebuah sofa kolot berbahan kulit yang sudah aus dan mengkerut. Lalu ketika aku berhasil menoleh ke sebelah kiri, aku melihat tirai yang menutupi seluruh kaca jendela.

Pantas saja ruangan ini gelap dan pengap. Pasalnya, tak ada sedikit pun celah yang mengizinkan cahaya dari luar untuk masuk ke dalam.

'Cklek'

Jantungku berdebar kencang saat aku mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan seluruh tenaga yang tersisa, aku berhasil bangun hingga kini posisiku berganti menjadi duduk. Baju cokelat susu yang aku kenakan berubah warna menjadi mengerikan. Tidak mungkin getah, asal warna gelap itu pasti dari darah.

Aku ingat sekarang. Aku dikejar. Kemudian mobilku ditabrak kencang dari sebelah kiri sampai aku tidak ingin mengingat apa yang terjadi berikutnya. Seseorang telah membawaku. Dengan mata yang tidak fokus, aku melihat ke arah pintu. Sosok pria tinggi berbadan kekar muncul dari sana. Dia membelakangiku untuk menutup pintu sehingga aku tidak bisa melihat bagaimana rupa pria itu.

Sebentar, wangi ini ... aku mengingatnya.

Hidungku tidak pernah kecolongan kalau soal wewangian. Lambat laun, segala yang ada pada sosok asing itu makin sesuai dengan seseorang yang kukenal.

Lantas ketika sosok tersebut berbalik badan, dadaku seperti ditusuk oleh sesuatu yang menyakitkan. Mata kami berdua saling beradu pandang. Di tangannya, ada sebuah nampan yang entah berisi apa. Penampilannya begitu berantakan, dia sangat jauh berbeda dengan seseorang yang biasanya aku lihat.

"Kamu udah bangun, Nya?" tanyanya. Nampan tersebut ia simpan di atas meja rias tua depan dipan. Lengan bajunya yang ditarik hingga sikut berhasil mempertontonkan beberapa luka yang masih kemerah-merahan. Aku mundur, tepatnya ketika lelaki itu melangkahkan kakinya untuk mendekat ke arahku.

"Jangan berani deketin aku," aku memberikan peringatan. "Kamu ...," semua kata-kata yang sudah tersusun di kepala memencar begitu saja. Apa yang aku lihat dan aku alami sekarang benar-benar sulit dipercaya.

"Oke," kedua tangannya terjatuh lemas di sisi tubuh. "Ini akan sangat berat dan mengagetkan buat kamu," katanya. "Bersihkan dulu luka kamu. Kalau kamu takut liat aku, aku akan ke luar."

"Sebenarnya, kamu siapa?"

Kata-kata yang menggunung itu terangkum menjadi satu kalimat yang sikat namun gamblang.

"Kamu mau apa dari aku?"

Rasa sesak yang saat ini aku rasakan telah mengundang air mata untuk jatuh dari pelupuk mata. Hidupku sudah cukup kusut, aku kalut. Tidakkah semua ini terlalu kelewatan? Kegilaan macam apa yang mampir ke hidupku sekarang?

Aku menyadari, bahwa akan ada banyak hal yang membuat manusia patah hati. Namun dari semua kemungkinan-kemungkinan yang telah aku antisipasi, kenapa asalnya harus dari 'dia' yang sepenuhnya telah aku percayai?

Aku tidak keberatan untuk menghadapi seluruh intrik yang mewarnai perjuanganku di parlemen. Namun sepertinya, aku tidak memiliki kesanggupan untuk menghadapi tipu daya yang satu ini.

Dalam sekejap, dunia Lavanya yang cemerlang berubah gelap seperti halnya langit cerah yang terhalang awan buram.

●●●○○○

AWAN BURAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang