1. Lavanya dan Satria

819 81 18
                                    

Anya

Berisik dari luar menandakan kesibukan rutin di tiap pagi. Seraya memakai anting, aku tersenyum tipis pada pantulan diriku di kaca cermin. Blouse batik yang kupakai hari ini terlihat cantik. Kainnya aku dapatkan dari salah satu politisi kenalanku di Kota Pekalongan saat rapat kerja nasional partai tiga bulan lalu.

"Mam, sarapan dulu."

Pintu kamar memang tidak tertutup. Dari celah yang terbuka, sebuah kepala menyembul ke dalam. Senyumnya secerah mentari pagi. Aku sendiri kadang heran, bagaimana bisa seseorang memiliki senyum lebar yang indah dan tulus seperti dia?

"Oke, Pap, Mami semprot hairspray dulu," jawabku.

"Biar stay kayak Ibu Pejabat gitu ya, Mam, rambutnya?" Terus terang saja, dia sedang meledekku. "Nggak disasak? Bagus loh kalo disasak."

Saat dia dan tubuhnya masuk ke kamar, aku melihat ada celemek yang menutupi badan bagian depannya. Warnanya merah muda dengan gambar kartun anjing kesukaan anak kami; yaitu Snoopy. Setelah menyemprotkan hairspray ke seluruh permukaan rambut, aku balik badan kemudian berdiri.

"Aku emang Ibu Pejabat, tapi nggak setiap schedule cocok pake rambut sasak." Seleranya memang agak aneh. Sekalinya dituruti, dia akan bilang bahwa aku mirip sinden orkestra gamelan. "Cantik, gak?" Aku rasa, setiap istri–atau tepatnya perempuan–sangat haus dengan yang namanya validasi.

Pinggangku ditariknya, menyebabkan jarak tubuh kami terkikis drastis. Hidungnya yang mancung itu mengendus pipiku. Kebiasaannya agak meresahkan. "Cantik banget sampe lemes gini liatnya," pujinya berlebihan, namun aku senang sekali saat mendengarnya. "Pengen cium tapi takut dipukul, soalnya nanti lipstiknya berantakan. Aku trauma."

Aku melepaskan diri dari rangkulannya. Ini berbahaya, bisa-bisa aku tidak jadi berangkat kalau terus digodai seperti ini oleh Satria. Dia mendorong bahuku keluar dari kamar. Kami mirip dua orang anak kecil yang sedang main kereta-keretaan. Lima tahun sudah pernikahan ini berjalan. Bukannya bosan atau renggang, kami malah semakin lengket dan saling menggantungkan.

"Mami lama sekali." Celetukan kesal itu aku dapatkan dari sesosok gadis perempuan mungil yang sudah duduk lebih dulu di atas kursi makan.

"Maaf, Lisy. Mami kan harus cantik dan rapi." Aku menarik salah satu kursi lalu duduk di atasnya. Pagiku selalu seperti ini, dengan Satria yang rutin memasakkan sarapan, serta anak kami–Lysiane atau Lisy–yang juga sedang bersiap untuk berangkat ke pre-school tempatnya sekolah.

"Aku lupa, Mami kan anggota dewan." Padahal dia tidak begitu mengerti anggota dewan itu apa. Telunjuknya menyentuh lencana garuda bertuliskan DPR RI yang tersemat di dada sebelah kanan. Dia pernah memintanya karena suka dengan bentuknya. Walau aku pernah bilang bahwa Mami akan memberikan dunia dan seisinya untuk Lisy, namun jika urusannya dengan pin kehormatan ini ... maaf, Mami tidak bisa, Nak.

"Aspri kamu tuh rajin-rajin, ya? Lebih rajin dari anak SD, bangunnya jam berapa coba?"

"Aspri kamu tuh rajin-rajin, ya? Lebih rajin dari anak SD, bangunnya jam berapa coba?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
AWAN BURAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang