Anya
"Sayang, Sayang! Hahaha! Liat deh, masa di tempat penetasan kura-kura ada kecebong? Kok aku kepikiran ya kalo kodok sama kura-kura kawin anaknya akan kayak apa? Katak bertempurung? Bhahaha!"
Aku menonton video singkat yang dikirimkan Satria kepadaku di perjalanan pulang. Mood-ku membaik dalam seketika. Padahal Satria memberikan disclaimer di bawah bahwa ini adalah video lama yang diambilnya saat sedang melakukan trip ke daerah Pangandaran.
Yang membuatku tertawa bukan kecebong yang ada di tangannya, melainkan ekspresi wajah lucunya. Meski wujudnya jadi aneh, aku tetap sangat menyukainya. Keurangan Satria di dalam konten-kontennya hanya satu: dia jarang mengontrol ekspresi wajah sehingga tak jarang mukanya berkeliaran di sosial media untuk dijadikan stiker atau meme.
"Kamu pulang gak, Sayang?" Aku ditelepon oleh Satria.
"Pulang kok, ini lagi kena macet di ... ck, di mana ini, Ca?" Aku yang sudah error gara-gara terbalut emosi ini bertanya kepada Bianca.
"Masih di Buncit Raya, Bu," jawab Bianca.
"Katanya masih di Buncit Raya, Pap. Kenapa?" Kalau aku dengarkan secara seksama, sepertinya Satria sedang berada di luar karena ada bunyi berisik kendaraan di jalan.
"Aku di BCA deket Pascasarjana Uhamka loh ini, tadinya mau jemput kamu. Kalo kamu udah di jalan, aku balik lag–"
"Naik apa?" Aku memotong perkataan panjangnya.
"Royal Enfield." Cih, tukang pamer. Tinggal bilang naik motor aja susah banget.
"Kamu maju dikit ke JMC, aku tunggu di situ. Tolong ajakin aku jlan-jalan dong." Ini akan terdengar seperti permohonan. Bukannya menolak, lelaki itu malah berjengit antusias.
"Okey, Cinta! Ayo kita jalan-jalan!" serunya girang.
Sepertinya, aku benar-benar tidak bisa menjalani hidup tanpa Satria. Dia adalah satu-satunya booster serotonin yang aku punya. Aku menyuruh Bianca beserta driver yang menemaniku untuk langsung pulang setelah aku berpindah ke motor Satria. Ada kemungkinan, kami tidak akan pulang sehingga mereka tidak perlu mengikuti ke mana aku pergi.
Laki-laki yang menggunakan jaket kulit itu sudah tiba lebih dulu di tempat yang ditentukan. Aku harus menyeberang karena arah kami berlawanan. Senyum lebarnya menular, aku ikut tersenyum juga saat melihatnya melambaikan tangan. Lelaki itu turun sebentar. Tebak apa? Dia membantuku memasang helm di kepala karena dia tahu kalau istrinya ini tidak bisa melakukannya sendirian.
"Mau ke mana nih, Mam?" tanyanya.
"Terserah, yang penting motoran." Erat sekali aku memeluknya.
"Oke deh, malam ini kita touring. Ngeenggg!" Mungkin Satria pikir, aku ini masih seusia Lisy. Dia melajukan kendaraannya di jalanan yang lancar. Sambil mengendarai motornya, Satria bernyanyi. Suaranya sangat merdu. Jika ikut kompetisi bernyanyi di televisi, aku yakin kalau Satria akan lolos ke posisi tiga besar.
"Makan gak?!" teriaknya.
"Mau!" Tentu saja aku tidak akan menolak. Hari ini, perutku belum diisi. Di acara makan malam pun, aku tidak memasukkan sesuap kentang goreng ke dalam mulut karena keburu emosi.
"Apa?!" Tidak, kami tidak sedang beradu mulut. Berbicara di motor memang harus berteriak supaya bisa terdengar ke belakang.
"Gimana kamu, aku ikut!" Kalau soal kuliner, Satria adalah jagonya. Dia tahu semua jenis makanan yang enak di seluruh Jakarta dan Jabodetabek. Lelaki ini benar-benar seorang penjelajah sejati.
Di Mampang Prapatan, Satria menekan sein supaya bisa berbelok ke kanan. Motornya berhenti di depan sebuah kios pinggir jalan yang terlihat ramai oleh antrian. Ayam bakar dan geprek ternyata. Dia tahu saja kalau aku sedang menginginkan sesuatu yang berempah. Meski antriannya panjang, aku tidak melihat ada yang mengisi bangku dan meja karena sepertinya mereka adalah para pembeli yang ingin membawa pulang pesanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
AWAN BURAM
FanfictionLavanya Mahasadya, seorang anggota Komisi VII DPR RI, sedang berurusan dengan sebuah perusahaan energi dan pertambangan yang memiliki catatan buruk dalam berbagai hal. Mulai dari pencemaran udara dan lingkungan, kriminalisasi terhadap rekan bisnis...