2. Langkah Awal

414 63 11
                                    

Anya

Setelah wakil ketua komisi ditangkap, suasana di lantai 14 yang merupakan lantai khusus untuk Komisi VII menjadi sangat berbeda. Entahlah, namun radarku yang sensitif ini mengatakan demikian. Dalam tiga puluh menit, rapat komisi akan segera diadakan. Karena tak ada satu pun orang yang mengingatkan, aku pun mengambil inisiatif untuk membuat pesan reminder di grup obrolan.

Sungguh, ini aneh. Komisi VII tidak pernah secanggung ini. Padahal bukan baru sekali dua kali ada anggota yang tertangkap tangan oleh KPK karena menerima suap. Namun yang kali ini ... rasanya berbeda. Aku harus mendefinisikannya bagaimana, ya? Intinya, ini canggung dan dingin. Itu saja.

"Cin, tolong tanya ke siapa pun yang sekarang deket sama Pak Bondan, saya bisa nemuin beliau atau enggak." Aku memberikan satu arahan kepada Cinta.

Perempuan yang baru berusia 26 tahun itu mengangguk, "Baik, Bu, akan saya coba," katanya tak pasti. Aku tahu benar bahwa menghubungi Pak Bondan akan sedikit sulit mengingat dia sudah ditahan oleh KPK sejak tadi malam. Aksesnya pasti dibatasi, minimal aku harus menemukan celah entah lewat penyidik yang kukenal atau kuasa hukum Pak Bondan sekalian.

"Ruang rapatnya sudah siap, Bu."

Bianca muncul dari pintu masuk. Aku berdiri, kemudian merapikan bajuku sebelum melangkah pergi dari ruangan ini. Aku harus berpindah ke Gedung Nusantara II karena di sanalah seluruh ruang rapat berada. Selama berada dalam perjalanan ke sana, aku berpapasan dengan beberapa rekan satu komisiku namun tidak bertukar sapa kecuali dengan mereka yang berasal dari fraksi partai yang sama.

Harusnya, rapat ini diketuai oleh Pak Bondan. Akan tetapi, harus dilakukan perubahan rencana karena beliau sedang ditahan oleh KPK. Pimpinan rapat diganti oleh wakil ketua komisi dari fraksi partai lain. Rapat ini diadakan secara terbuka. Ada banyak sekali wartawan yang sudah standby dengan kamera mereka untuk meliput jalannya rapat komisi pada hari ini.

Yang aku sukai dari rapat terbuka adalah; jalannya rapat bisa berjalan sesuai dengan rencana. Orang-orang ini cukup takut dengan media dan penilaian publik setelahnya. Pembahasan pun tidak melenceng ke mana-mana, apalagi semua orang sudah mengetahui bahwa topik rapat kali ini adalah tentang penyelidikan dan pengawasan Komisi VII DPR RI terhadap PT. Eterno.

"Menimbang banyaknya permasalahan terkait tuduhan penghindaran pajak dan kerusakan lingkungan yang aspirasinya disampaikan oleh banyak aktivis lingkungan serta masyarakat di sekitar lokasi pertambangan, maka Komisi VII akan secara resmi memanggil PT. Eterno untuk melakukan pembahasan lanjutan."

Harusnya aku lega, namun anehnya aku malah merasa ada yang mengganjal. Aku dan firasatku ini sangat meresahkan.

"Selain daripada itu, Komisi VII juga akan membentuk panitia kerja dalam rangka penyidikan dan pengawasan terhadap PT. Eterno yang anggota-anggotanya akan diumumkan dalam beberapa saat lagi."

Ini yang aku tunggu-tunggu. Kupikir, pimpinan rapat yang baru ini akan melewatkan satu tujuan penting dalam rapat komisi. Tapi ternyata aku salah karena jalannya rapat benar-benar sangat sesuai dengan rencanaku dan Pak Bondan sebelumnya. Ayolah, Nya, jangan trust issue begitu. Kamu harus percaya bahwa anggota dewan yang jujur dan memiliki integritas itu masih banyak sekali jumlahnya.

Namaku masuk ke dalam daftar anggota panitia kerja. Bagus, sudah sepantasnya mereka memilihku. Kalau bukan aku, aku tidak yakin apakah panitia ini akan memiliki anggota yang pemberani atau justru sebaliknya. Bagi perusahaan atau instansi yang sedang diawasi oleh komisiku, nama Lavanya Mahasadya adalah mimpi buruk karena aku sangat pantang untuk mundur dalam mengorek celah kesalahan yang ada.

"Bunya." Hanya ada satu orang yang memanggilku Bunya. Maksudnya Bu Anya, namun dia memiliki sebutan khusus yang menurutku malah terdengar seperti panggilan kesayangan.

AWAN BURAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang