Prologue

26 1 0
                                    

Pernahkah kau berada di situasi krusial yang sangat tidak di harapkan dan terjadi begitu saja. Ketika kau benar-benar ingin hidup damai meskipun sulit buatmu untuk merasakannya seorang diri. Mungkin keinginan makhluk bernyawa adalah hidup dengan tentram tanpa hambatan berarti, namun bagaimana jika sesuatu terjadi begitu saja di luar kendali kita? Kita tidak bisa mengelak sama sekali tapi kita lebih tidak mampu untuk menghadapinya.

Perempuan berambut hitam ikal itu berlari kecil, meredam suara langkahnya dengan sepatu dengan sol karet yang terhentak pelan, berusaha berkomplotan dengan udara juga gravitasi agar benar-benar keberadaannya tidak menarik asistensi orang-orang.

Koridor kampus hari itu sepi, sebagian besar mahasiswa memilih untuk menyejukkan diri diluar gedung dibawah pohon trembesi yang berjejeran, dan sebagian lain memilih opsi pencarian kelas kosong dengan teman komplotan sekedar mencari tempat aman untuk tidur atau makan siang.

Hal beruntung jika mas penjual es jeruk memiliki persediaan batu es yang melimpah, baik digunakan untuk mengompres tubuh agar tidak benar-benar meleleh akibat cuaca panas.

Mela sama sekali tidak memiliki niat untuk membeli atau sekedar mencari penyejuk badan, melihat dagangan itu ramai dikerumuni mahasiswa lain membuatnya malas lebih dulu. Duduk didepan ruang administrasi mungkin lebih menyenangkan, ketika pintu ruang itu terbuka akan mengeluarkan udara dingin dari dalam, benar-benar hal konyol disiang sialan ini.

Namun, benar tentang kata siang yang sialan. Ia lupa listrik sedang padam sejak dua jam yang lalu. Kemudian otaknya kosong, telinganya berdengung, ia merasakan hal yang tidak normal. Ia memilih menunggu dibanding pulang ke rusun setelah mata kuliah terakhir selesai. Entah menunggu terik matahari mereda atau sekedar menunggu seseorang untuk ditemukan.

Sol sepatu mengetuk-ngetuk lantai, lantas pintu ruang administrasi terbuka dan tidak ada angin sejuk yang diharapkan sejak tadi, seharusnya ia tidak sepanik ini hanya karena memikirkan seseorang yang tiba-tiba merusak suasana hatinya. Ketukan lantai semakin berdesakkan, melupakan irama sebelumnya dan kian bertubrukan.

"Haruskah aku sekhawatir itu?"

[P I G M E N]

Cuaca siang ini sebentar lagi membakar kulit lelaki pangsit rebus itu, maka dari itu sebelum semuanya terjadi ia lebih dulu meneguk es jeruknya dengan rakus dibawah pohon trembesi. Jas Laboratorium ia sampirkan di sandaran bangku, membuka kancing kemeja dan menanggalkannya di pundak, menyisakan kaos biru tua basah oleh keringat.

Sudah lebih dua jam listrik padam artinya pendingin ruangan mati dengan kata lain praktikum mikrobiologi diselesaikan dan menyudahi acara bersahabat dengan bakteri-bakteri busuk didalam cawan petri. Bukannya meneguk susu beruang usai praktikum, ia lebih memilih es jeruk yang menyegarkan.

"Gan! Gan! Argan!"

Lelaki lain melambaikan tangannya dibawah pohon trembesi seberang. Lelaki dengan rambut tak lagi rapi tertiup angin panas, mengucurkan keringat di dahi dengan tawa bahagianya, "Apa yang kalau lakukan disana jomblo! Kau semakin menyedihkan saja setiap harinya."

Argan menampar wajah lelaki itu dengan dua pakaian yang ia bawa setelah ia tiba dihadapan lelaki yang mengejeknya. "Mamam tuh keringat, kau pun sama jomblo."

Moca tertawa, mengambil es jeruk dari pemiliknya, meneguknya tanpa izin terlebih dahulu, sementara sang empu menepuk pundak Moca agar bergeser memberikannya lahan untuk duduk.

"Kau melihat kakakku?"

Argan melengos, menggeleng kemudian mengipas lehernya dengan tangan seadanya. "Tidak usah meminta uang padanya, minum saja es jeruk milikku, kalau habis kita minta es batu lalu isi ulang dengan air ledeng, ide bagus, bukan?"

PigmenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang