Dua : Klorofil

3 0 0
                                    

"Gan, kau punya lauk lebih?"

Tak lain dan tak bukan, Moca tetangga kosnya sekaligus teman satu kelasnya sudah berdiri membawa sepiring nasi di depan kamar Argan. Hal yang selalu mereka lakukan jika salah satu dari mereka mengalami krisis keuangan dan asam lambung mulai kumat– ialah saling memberi satu sama lain. Jika salah keduanya tidak memiliki apapun di dunia ini untuk di makan maka tablet asam lambung akan menjadi penawar untuk sementara.

"Aku punya telur dadar."

Menurut Argan, Moca merupakan salah satu alasannya untuk tetap bersyukur. Diantara mahasiswa yang pernah ia temui Moca lah yang lebih memahami dirinya. Mereka berdua telah kehilangan kedua orang tuanya, merantau untuk kuliah berbekal beasiswa KIP, dan mencoba terlihat baik-baik saja demi hidup yang layak adalah alasan bahwa Argan dan Moca memiliki kesamaan.

Jika kebanyakan orang bakal senang terhadap orang lain karena punya uang dan kekuasaan, maka Moca tidak. Moca bukan orang yang perhitungan dan pemilih teman, dia bahkan masih bisa membagi makanan yang diberikan saat kegiatan organisasi untuk Argan dan juga Cano– kakakknya, ia juga tetap ikut rapat di cafe saat ia tak memiliki uang sepersen pun atau menyambungkan kabel stop kontaknya seminggu ketika token listrik Argan habis.

"Token habis lagi?"

"Ho'oh, uang beasiswa terpakai untuk beli bahan praktikum dan ganti rugi paket customer yang hilang."

Moca menyodorkan gelas yang berisi air ketika lelaki itu menyelesaikan makanannya. "Aku udah bilang kan, kerja sebagai kurir itu capek, belum lagi kalau penerima mengamuk karena barang yang datang tidak sesuai."

"Kalau yang itu tidak pernah terjadi lagi, kemarin itu aku hanya ceroboh, kayaknya barangnya jatuh di jalan." Argan mencoba membela diri dan mengatakan bahwa hal itu tidak akan terulang lagi.

"Terserahlah."

Argan mengambil gitar milik Moca lalu duduk di depan pintu sembari menyetel kunci dan mengecek apakah nadanya telah sesuai.

"Kau ke mana tadi siang?"

Argan yang sudah mulai menggenjreng gitar terhenti, memalingkan wajahnya pada Moca yang sudah berbaring di kasurnya. "Aku bersamamu minum es jeruk."

"Bukan, sebelumnya?"

Argan terdiam. Sedikit berpikir. Tadi siang sebelum ia meminum es jeruk dan betemu Moca di bawah pohon trembesi setelah praktikum mikrobiologi.

"Membeli es jeruk?"

"Bukan itu maksudnya anjing! Sebelum kau bertemu dengan ku, sebelum kau membeli es jeruk." Moca melengos, melempar kasar bantal di sebelahnya ke arah Argan.

Argan diam. Sedikit berfikir.

"Tentang Pak Rofil, bagaimana bisa?"

"Entahlah, aku agak takut."

"Menurutmu kenapa dia mengakhiri hidupnya di saat kehidupannya baik-baik saja." Moca sudah menyandarkan punggungnya ke dinding. "Bahkan seluruh orang ku rasa memujinya, yang sepantasnya mati itu orang-orang seperti kita yang tidak memiliki kontribusi dan tujuan."

Oke. Kali ini Moca serius dan Argan merasa percakapan ini mulai tidak nyaman. Sesuatu dari dirinya tidak terima tapi sebagian lainnya setuju. "Mau rokok?"

Ada dua hal yang Argan takutkan di dunia ini yaitu mati dan kehilangan seseorang yang ia kenal. Dua hal yang sama-sama berhubungan dengan nyawa. Argan takut. Jika suatu saat nanti Argan tak dapat bertemu dengan seseorang atau mungkin orang-orang yg tidak akan bertemu dirinya lagi. Sejujurnya Argan takut, tetapi manusia yang ia ceritakan kini masih berbaring di rumah sakit, ia bingung harus takut atau–

"Aku membenci Pak Rofil, bukan karena sebagai laboran atau alumni organisasi, tetapi sebagai dirinya sendiri." Moca mengaku. Hembusan napas bercampur asap rokok itu terlihat panjang, menandakan bahwa ada kelegaan yang tersirat setelah mengatakannya.

Rofil Klo, alumni mahasiswa angkatan 10, salah satu mahasiswa terbaik fakultas dengan lulus tepat waktu, ia juga merupakan mantan ketua organisasi himpunan jurusan pada masanya yang masih aktif sebagai penasehat organisasi sampai kini, bahkan ia langsung melanjutkan studinya hingga lulus S2 di usia mudanya yang itu semua karena mendapatkan beasiswa dari universitas. Pak Rofil adalah bentuk kebanggaan yang sulit di miliki oleh orang lain. Namun, semakin tinggi seseorang maka semakin mustahil tidak ada yang membenci dirinya.

"Aku juga."

Orang-orang bilang kau tidak bisa membenci seseorang walaupun mereka salah, sebab suatu saat kau masih membutuhkan mereka. Moca paham. Jika saja Pak Rofil bukan seorang laboran, orang-orang yang tidak mampu berpikir tapi memiliki privilege tidak akan membayar untuk mengubah ketentuannya secara pribadi. Jadi, beruntung jika kau memiliki keduanya, tidak membutuhkan orang lain dan pintar secara keilmuan. Itu artinya kau bisa membenci mereka karena kau tidak butuh. Seperti tumbuhan yang memiliki privilege klorofil, bisa hidup sendiri dan berfotosintesis.

Mahasiswa kebanyakan mengandalkan uang atau kecantikan mereka untuk mendapatkan hak istimewa. Mampu menyelesaikan laporan praktikum dengan membayar joki, atau menjadi pemuas untuk memperbaiki nilai. Sayangnya mahasiswa adalah manusia bukan tumbuhan yang bisa hidup sendiri, manusia tak memiliki klorofil.

"Pengumpulan laporan praktikum sepertinya bakal di undur karena tidak ada laboran, tidak mungkin laboran dari lab pengolahan yang memeriksanya, kan?" Argan telah meletakkan gitarnya, menatap Moca yang mulai menulis latar belakang di lembar laporannya.

Sedangkan yang ditanya mulai berpikir, menghentikan jarinya yang sudah kelelahan menulis laporan. Yang Argan katakan ada benarnya juga. Selama ini laboran lab pengolahan tidak pernah ikut campur di lab mikrobiologi walaupun di minta.

"Tapi bagaimana kalau Pak Tanin tidak ada pilihan lain?"

Pertanyaan Moca juga ada benarnya. Argan hanya malas untuk mengerjakan laporan praktikum, terlebih lagi laporan itu baru akan di kumpulkan minggu depan. Masih lama pikirnya. Argan hanya beralasan agar ada yang mendukung kemalasannya.

"Sudahlah kerjakan saja, lebih cepat lebih baik."

"Besok kami kerja kelompok, kau duluan saja." Pada akhirnya hal yang membedakan mereka berdua adalah kemalasan.

Argan masih ingat ucapan lelaki yang kini sudah berada di ambang pintu kamar katakan padanya setahun yang lalu. Nada bicara, tatapan mata dan setiap kalimat yang lelaki itu ucapkan masih ia hafal betul di kepalanya. Argan tidak menyukai Cano– kakak Moca.

Argan bangkit, menepuk pundak Moca yang masih sibuk menulis kini sudah menatap Cano. Ia tahu betul kenapa Argan tiba-tiba ingin pulang, mengambil piring yang belum di cuci serta kabel stop kontak yang tersambung ditarik sampai ke kamar Argan.

Lalu setelah terdengar pintu kamar Argan tertutup, barulah lelaki itu masuk.

"Kau sudah makan?"

Moca mengangguk. "Kakak dari mana?"

Cano merebahkan dirinya di kasur, mengabaikan pertanyaan Moca seakan telinganya tidak mampu mendengar. Cano sibuk dengan ponselnya. Moca menyerah, tidak berniat mendengar jawaban Cano dan kembali menulis laporannya. Memang dia mengharapkan jawaban seperti apa?

"Hati-hati berteman dengan Argan, dia anak yang tidak beres."

Yang sebenarnya tidak beres itu Argan atau Cano?

Atau mungkin Moca sendiri?

7/4/24

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 21 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PigmenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang