Bagian 2

22 3 0
                                    

" Iya, iya sebentar. Aku sudah siap ini."

Dengan ponsel yang masih berada ditelinganya, PP berjalan tergesa-gesa menuruni anak tangga rumahnya.

" yak, bukan salahku ya. Siapa suruh mengajak orang mendadak begini. Masih beruntung aku bisa bangun. " ia terlihat mengomel sepanjang langkah. Hingga hampir menabrak Mark yang juga tengah berjalan menaiki tangga. Namun walaupun begitu, tak ada sapaan ramah diantara mereka berdua.

" Bacot ah, aku mau pakai sepatu dulu."
Dengan cepat ia memutuskan panggilan, lalu mengantongi ponselnya kedalam saku celananya. Namun baru saja ia membungkuk untuk mengambil sepatunya di rak ruang depan. Suaranya ayahnya menginterupsi.

" Mau kemana lagi?"

Hal itu membuat PP seketika menegakkan tubuhnya sembari menghembuskan napas kasar.

"Pergi." Pemuda taurus itu menyahut singkat, lalu mendudukkan tubuhnya dilantai guna memakai sepatunya. Menghiraukan ayahnya yang tengah menatapnya dengan kesal.

"Baru tiga jam kamu dirumah dan kau sudah akan pergi lagi. Ini hari minggu, PP kau tidak ada jadwal kuliah?"

" Tak ada jadwal kuliah, bukan berarti aku tak ada rencana lainkan Pa?" Ia menatap ayahnya sebentar, sebelum akhirnya melenggang santai keluar rumah. Mengabaikan ayahnya yang hanya bisa menatapnya tak percaya.

" Kenapa makin kesini, kau makin susah diatur sih Pi?"

Lelaki paruh baya itu menghela napas pelan seiring mobil anaknya yang telah melaju meninggalkan halaman rumah. Dan hal itu tak luput dari tatapan sang anak sulung yang baru saja keluar dari dapur setelah menyeduh secangkir kopi.

" Bukankah sudah kubilang, jangan terlalu memanjakanya Pa. Dia jadi makin tidak tahu dirikan." Mark berdiri disamping ayahnya sembari menyeruput kopi yang tengah dipegangnya.

" Papa hanya merasa kasihan denganya Mark." Sosok yang terlihat mulai menua diusianya yang hampir menginjak angka 50 tahun itu menjawab sembari melangkah menuju ruang TV, membuat Mark akhirnya berjalan mengikutinya. " Dia dari kecil tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu."

" Lalu apa bedanya denganku, kita hidup dirumah yang samakan?" Mark menyahut tak terima, entah kenapa ia selalu merasa tak nyaman setiap kali ayahnya itu membicarakan tentang adiknya. Jujur saja, ia selalu merasa iri setiap kali melihat ayahnya itu memanjakan PP. Padahal hidupnya juga tidak pernah merasa kekurangan. Ayahnya juga selalu memberikan apa yang ia minta, sama seperti adiknya. Tapi entahlah, perasaan itu tidak pernah bisa dibohongikan?

" Tapi kau sudah paham Mark, berbeda dengan adikmu?"

Nah benarkan, " Paham?" Mark terkekeh. " kalau maksud papa aku paham, jika gara-gara dia aku kehilangan...,"

" Sudah kubilang berhenti membahas itu, itu bukan salah PP?"

Selalu saja begitu. Sebelum ia sempat menyuarakan isi hatinya, ayahnya telah lebih dulu memotong ucapanya seperti yang suda-sudah. Maka tidak heran, jika ia menjadi sedikit kesal.

" Bela saja terus, sampai Papa sadar bahwa anak itu tidak akan berguna dihidup kita nantinya." Lalu setelahnya pemuda berzodiac Sagitarius itu lebih memilih untuk berlalu pergi meninggalkan ayahnya. Mengabaikan kopinya yang bahkan bisa dibilang masih utuh.

" Mark! Bukan begitu maksud Papa!"

.
.
.

Sementara itu, disebuah rumah sederhana yang terlihat cukup asri. Tampak seorang pemuda yang tengah sibuk menyirami bunga dihalaman depan rumahnya. Sesekali ia akan mencabuti rumput yang terlihat mulai tumbuh subur disela-sela tanaman mawarnya.

Through the UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang