[ Flashback ]
"David, kamu tahu anak yang baru masuk kesini kemarin? Katanya kamu yang jadi dokter penanggung jawabnya, ya?"
Tanpa menoleh pada Huda, teman karibnya, David berdehem pelan sebagai jawaban. Ia sendiri sebenarnya baru dikabari beberapa hari yang lalu dan belum bertemu dengan anak yang menjadi buah bibir akhir-akhir ini. Mungkin hari ini akan menjadi pertemuan pertama mereka.
Setelah berpisah di ujung koridor, David mulai melangkahkan kakinya sedikit lebih cepat. Ia bergerak buru-buru untuk sampai di ruangan dimana pasien barunya berada. Rasanya agak gugup, padahal David sudah pernah menangani pasien anak di bawah umur sebelumnya.
Knop pintu dibuka perlahan setelah ia mengetuk pintu. Tidak ada sahutan dari dalam, jadi David pikir mungkin si penghuni ruangan sedang tidur atau pura-pura tidak mendengarnya. Ya, kebiasaan anak-anak pada umumnya ketika mereka takut bertemu dokter.
Namun, pemandangan berbeda justru terlihat. Lidahnya mendadak kelu, jantungnya seketika berdegup kencang. David tidak mengerti kenapa tubuhnya tiba-tiba bergerak cepat menyambar benda yang kini sudah berpindah ke tangannya.
David melirik telapak tangannya yang basah. Bau anyir samar tercium saat darah mulai menetes jatuh ke lantai. Ia menutup matanya sejenak, menikmati sensasi perih bercampur ngilu karena sudah memegang pisau di sisi paling tajam. Tangannya jadi terluka.
Kejadian itu cepat sekali. David beruntung karena salah satu perawat datang untuk mengantarkan barang dan menemukan dirinya yang berdiri dengan tangan penuh darah. Kegaduhan langsung terjadi, tapi David cepat menenangkan situasi saat melihat pasien barunya cukup terguncang.
"Kamu istirahat dulu, oke?" David berujar tepat di depan anak laki-laki yang kini menundukkan kepalanya, setelah itu ia melirik pada perawat yang ada di dalam ruangan tersebut. "Tolong beri dia minum dan bersihkan lantainya." Lanjutnya sebelum pamit keluar sebentar.
***
Selama bertahun-tahun bekerja disana, mungkin ini pertama kalinya ia terluka sampai seperti ini. Beruntung lukanya tidak terlalu dalam, tapi garis memanjang itu pasti akan berbekas lama. Yah, itu sebenarnya bukan masalah bagi David, sekarang masalahnya ia harus segera kembali ke ruangan tadi.
Pasien barunya itu sepertinya sudah lebih tenang. Walaupun masih gemetaran saat menyadari kehadiran David, tapi tak apa selagi anak itu tidak histeris atau mengusirnya. "Saya gak apa-apa, jangan khawatir. Lukanya juga gak parah kok," ucap David seraya tersenyum.
"Ma, maaf ..."
Meskipun terdengar sangat lirih, tapi David masih bisa mendengarnya. Ia tetap mempertahankan senyumannya, merasa tersentuh karena anak itu bersedia untuk meminta maaf. "Nama saya David, dokter penanggung jawab kamu dan nama kamu ... Arlian Maheja, benar?"
Arlian, anak laki-laki dengan kulit putih pucat itu mengangguk. Ia masih belum berani mengangkat pandangan, tapi masih mau merespon David dengan baik. "Saya gak akan marah sama kamu. Saya juga gak bakal nanyain gimana caranya kamu bisa bawa pisau kecil itu kesini. Tapi, kalau ada sesuatu yang ingin kamu katakan, katakan saja. Saya akan mendengarkan."
Sepertinya ucapan David cukup menarik perhatian Arlian, anak itu mulai mengangkat pandangan dan menatap pria di depannya ragu-ragu. "Aku boleh ngomong?" Tanyanya.
"Tentu, kamu boleh ngomongin apa saja dengan saya."
David masih belum mengetahui secara detail kondisi pasien barunya itu. Arlian, anak laki-laki yang kulitnya bersih dan terawat, tubuhnya agak kurus tapi sekilas tampak sehat dan normal, anak itu juga yang tadi hampir menusuk lehernya sendiri. Benar-benar di luar dugaan David.
KAMU SEDANG MEMBACA
Letters from Heaven [ON HOLD]
Fiksi Penggemar[ Angst Short Story ] Hampir setiap hari, Arlian Maheja akan menulis surat untuk Ibu. Namun, sampai akhir tidak ada satupun surat yang terkirim.