06 - Tuntutan Fisik

25 10 0
                                    

Selepas melakukan kegiatan fisik di lapangan yang tidak jauh dari lokasi bimbel sesuai perintah ayahnya, Harris pun beristirahat sejenak sembari meregangkan kaki sebelum pulang ke rumah. Dirinya duduk di pinggiran lapangan sambil memandangi beberapa anak kecil yang bermain layang-layang, tertawa riang seakan tidak memiliki beban. Sudut bibir Harris terangkat penuh seakan menyaksikan kenangannya di masa kecil dulu. Hidup hanya bermain, tanpa harus berpikir dan menanggung beban serta harapan.

Sepuluh menit berlalu, Harris sudah puas beristirahat. Ia memutuskan pulang dengan mengayuh kembali sepedanya menaiki jembatan yang bisa dibilang cukup tinggi. Rasa lelahnya sedikit terobati selepas melihat anak-anak di lapangan tadi. Setidaknya hari ini tidak cukup buruk, meskipun Harris selalu dibayang-bayangi oleh tuntutan sang ayah. Harus seperti ini dan itu. Rasanya Harris ingin menyerah.

Harris kembali pulang ke rumah tepat setelah kedatangan ayahnya. Keringatnya masih mengucur deras. Bahkan sang ayah pun belum mengganti pakaiannya, tetapi lagi-lagi ayah Harris memanggilnya untuk mengobrol sebentar di taman belakang. Dengan jalan lunglai sebab lelah, Harris menurut, mengekori sang ayah dari belakang hingga menuju taman.

"Ris, duduk," titah sang ayah sambil menepuk bangku panjang, memberi isyarat agar Harris duduk di sampingnya.

"Apa, Yah?," tanyanya sambil berjalan mendekati sang ayah, lalu duduk tepat di sampingnya sesuai perintah. Ia mengibaskan tangannya untuk menciptakan sedikit udara sejuk sebab keringatnya seperti tidak ingin berhenti untuk terus menetes.

Ayah Harris menatap lurus ke depan. Ia meyatukan genggaman telapak tangannya, terdiam sejenak di sana sambil mengambil napas dalam, lalu dikeluarkannya perlahan. Ayah Harris menoleh pada sang putra. "Sudah latihan tadi? Sesuai yang Ayah suruh?"

Harris hanya mengangguk tanpa memberi jawaban. Sudah Harris duga, pasti ayahnya akan menanyakan dan memastikan hal itu. Tanpa Harris duga, sang ayah tiba-tiba menepuk-nepuk punggungnya seraya berucap, "Ayah hanya ingin kamu jadi anak sukses. Jangan seperti Ayah yang selalu dipandang remeh oleh seseorang."

"Iya, Yah. Ada yang mau dibicarakan lagi? Kalau tidak Harris ingin mandi, gerah sekali," ucapnya beranjak dari tempat duduk. Harris tahu, segala yang dilakukan sang ayah demi kebaikan dirinya, tetapi terkadang ayah tidak pernah mendengar apa mau Harris. Hal itulah yang sebenarnya membuat Harris sedikit merasa kecewa.

Terkadang, Harris hanya butuh didengar. Namun, hal itu tidak pernah didapatkannya dari sang ayah. Harris pun tidak memaksa, tetapi setidaknya jika mau menuntut, ketahuilah dulu apa keinginan dari lubuk hati Harris. Harris hanya ingin berdiskusi meskipun ia tahu, jika keputusan ayah-lah yang nantinya akan selalu menjadi yang utama.

Ayah Harris mengangguk. Ia tidak berkata apa pun lagi selain menanyakan apakah Harris sudah olahraga atau belum. Merasa tidak ada yang penting, Harris pun melenggang dari hadapan sang ayah. Ia pergi membersihkan badan secepat mungkin sebab setelahnya diri Harris harus bersiap untuk memahami materi yang tadi sudah ia dapatkan.

Di lain sisi, saat Harris sudah berada dalam kamar mandi. Irna, ibu Harris menghampiri sang suami yang masih berada di taman belakang, tengah merenung.

"Mas. Aku minta tolong jangan keras-keras sama Harris. Aku takut suatu saat dia bisa benci sama kamu dengan perilakumu yang seperti ini," tuturnya menasihati sang suami.

"Aku hanya ingin yang terbaik untuk Harris. Cuma Harris anak yang bisa kita banggakan. Siapa lagi? Ila pun kondisinya seperti itu. Setidaknya aku berharap bisa menata kehidupan salah satu anak kita agar ada yang bisa jadi lebih baik dalam keluarga ini," jelasnya membuat Irna hanya terdiam. Ia tahu, menasihati sang suami sama saja seperti berbicara dengan dinding. Tidak akan pernah didengar.

Melihat sekilas sang putra telah menyelesaikan kegiatan bersih-bersihnya. Ayah Harris dengan segera menghampiri sang putra. "Ris, tunggu." Ayah Harris menghentikan langkah Harris saat ingin menuju kamarnya.

"Apa, Yah?"

"Jangan lupa belajar. Setelah ini, Ayah akan kasih kamu soal lagi. Soal seperti kemarin, kali ini Ayah mau kesalahan kamu tidak lebih banyak dari kemarin," harapnya pada sang putra.

Mulut Harris ternganga. Ia terbelalak. Baru juga dirinya mengikuti bimbel hari ini, juga baru kemarin ia mempelajari soal yang baru saja ayahnya beri, bagaimana mungkin bisa dia langsung mengerjakan dengan benar nantinya. Harris saja baru akan mulai kembali memahami materi. Meskipun ia punya dasaran materi sebab ketika SMA mengambil jurusan MIPA, tetapi sama saja, ini jauh lebih sulit.

"Yah, tapi Harris juga harus mempelajari materi dari bimbel tadi. Ada yang masih Harris kurang pahami."

"Bagus kalau begitu. Pelajari dua-duanya. Dari bimbel dan dari Ayah, itu akan lebih bagus, bukan?"

Harris mulai bersuara, tidak lagi mampu memendam kekesalannya. Sudah cukup ia diam tidak membela diri. "Yah, Harris ini manusia, bukan robot! Otak Harris mana mampu mempelajari sebanyak itu!?" ujarnya dengan nada suara tinggi dan napas yang menggebu. Dia benar-benar marah, tidak habis pikir dengan ayahnya. Baginya, jika seperti ini, sang ayah bukannya menjadikan Harris sukses tetapi malah menjadikan dirinya stres.

"Berani membentak Ayah?! Berani kamu melanggar perintah Ayah?!" balas ayah Harris dengan nada suara yang sama-sama meninggi.

Harris terdiam, mengepalkan tangan. Ia hanya diam, memendam emosinya dengan napas yang menderi. Dirinya tidak ingin menambah masalah baru. Fisik Harris lelah, ditambah ayahnya yang setiap hari seakan tidak memberi Harris istirahat. Harris pun hanya mengangguk lagi, berusaha menuruti perintah sang ayah meski rasanya ia tidak kuasa.

"Ayah akan kembali ke kamarmu. Pelajari buku yang Ayah kasih kemarin, kerjakan soal dari Ayah dan setelahnya baru kamu pelajari materi dari bimbel itu," pungkasnya memerintah, lalu pergi dari hadapan Harris setelahnya. Harris menurut, mulai berkutat dengan soal-soal hingga hampir larut.

××××

Kemarin malam, diri Harris yang malang hanya bisa berpasrah meski sebenarnya sudah sangat muak. Ia tetap mengerjakan dan melaksanakan perintah sang ayah, tetapi untungnya kesalahan Harris dalam mengerjakan soal yang diberikan sang ayah tidak lebih banyak dari hari sebelumnya.

Pagi ini, Harris mengunjungi sang ayah di ruang tamu yang tengah berbincang dengan pamannya. Hal itu membuat sang ayah bertanya-tanya. "Ngapain kamu di sini? Tidak bimbel?"

"Nanti sore, Yah, jadwalnya," jawab Harris singkat. Ia beralih menuju sang paman untuk mencium tangan.

Sekarang, Harris turut mendengar dan ikut dalam percakapan ayah serta pamannya. Sang ayah bilang pada paman Harris untuk melatih Harris setelah ini juga di lapangan. Sekadar mengawasi latihan fisik dasar Harris seperti berlari, sit up, dan push up. Jujur saja, Harris kembali tidak mengerti dengan jalan pikir ayahnya, kenapa harus meminta sang paman padahal Harris tahu jika hari ini sang ayah libur dari pekerjaannya.

Sang paman pun dimintai tolong dengan sungguh oleh ayah Harris, agar bisa membuat fisik Harris jauh lebih kuat dan berotot demi kelolosannya nanti di jurusan penerbangan. Paman Harris pun hanya mengangguk sambil menatap iba pada Harris yang terlihat seperti memiliki banyak tekanan.

Sementara itu, Harris hanya berdecak dalam hati, sedikit menyeringai sambil menggeleng. Ia lupa jika ayahnya malas. Ia sadar betul, jika ayahnya memang hanya mampu menyuruh, menyuruh, dan menyuruh tanpa sedikit pun melihat bagaimana proses dan perkembangan Harris, untuk bisa melewati segala yang sudah ia lalui demi memenuhi keinginan sang ayah.

~Bersambung

Brother's Story [Terbit]✓Where stories live. Discover now