Kunjungan 9 : Sampaikan

130 16 4
                                    

Semilir angin menderu wajah Todoroki. Manik dua warna membesar. Surainya pun berkibar. Dingin melanda jiwa. Todoroki memandang terkejut pada tempat yang ia pijaki sekarang.

Sudah berapa tahun Todoroki tidak datang berkunjung ke sini?

Akankah ibunda tercintanya merindukan Todoroki?

Todoroki hanya mematung di tempat kala Bakugou membuka pelan gerbang kawasan makam ibu Todoroki. Bakugou menoleh pada pemuda di belakangnya. Kemudian menunduk hormat.

"Izinkan saya berbicara dengan ibu anda." Ujar Bakugou.

"Bu-bukannya an-da bilang, ingin mengajak-ku jalan-jalan?" Bakugou tidak menjawab dan berjalan memasuki kawasan pemakaman yang sepi itu.

Nafas Todoroki tercekat. Bakugou mendatanginya siang ini. Hari menunjukkan pukul 1.15 siang. Ia sangat telat karena saat pagi, ada pasien yang lebih membutuhkan Bakugou.

Bakugou katakan pada Todoroki, untuk membantu penyembuhannya, Todoroki harus menghirup udara segar dengan sedikit berjalan-jalan. Lama bagi Todoroki untuk berpikir sebelum ia menyetujui perkataan Bakugou. Bahkan Bakugou harus membuang waktu 30 menit lebih untuk berdiskusi meminta izin kepada 3 kakak dari keluarga Todoroki.

Todoroki tidak menyangka, berjalan-jalan yang dimaksud adalah mengunjungi makam ibunya. Lagipula, darimana dokter itu dapat mengetahui lokasi makam ibu Todoroki? Kepala Todoroki terasa berat memikirkannya.

Manik beda warna Todoroki bergetar saat Bakugou berhenti pada sebuah makam. Bakugou duduk dengan menumpu pada lututnya. Ia mengusap batu nisan kemudian mencium batu nisan tersebut. Todoroki merunduk sambil memegangi kepalanya yang berdenyut.

"Selamat siang, nyonya Todoroki." Sapa Bakugou. Tentu tidak ada sahutan. Hanya angin yang meniup wajahnya.

Bakugou tersenyum. "Saya dokter yang akan menyembuhkan putra anda. Kondisinya sudah lebih membaik dari pertama kali saya datang." Lanjut Bakugou seraya menaburkan bunga di atas makam.

"Walau kemungkinan sembuh hanya 60 persen. Setidaknya itu dapat mengurangi rasa khawatir anda dan kakak-kakaknya. Mereka sangat menyayangi Todoroki." Bakugou menengadah. Berusaha mati-matian menahan air yang memaksa keluar dari pelupuknya.

'Sial!' Umpat Bakugou. Ia tidak mengerti untuk apa dirinya ingin menangis. Apa karena terbersit bayangan kekhawatiran kakak-kakak Todoroki?

"Sial." Bakugou mengusap kasar matanya. "Aku juga ingin memiliki seorang kakak." Ucap Bakugou. Pasti akan menyenangkan rasanya dapat berbagi bermacam perasaan dengan saudara kandung.

Tidak lama, seseorang menabrak tubuh Bakugou dengan sebuah pelukan. Bakugou merasakan bulir-bulir air membasahi pundak. Satu tangan terlihat merangkul batu nisan, dan satu lagi memeluk erat tubuh Bakugou.

"Ibu, aku minta maaf." Suara serak itu milik Todoroki. Bakugou terdiam. Todoroki menangis terisak-isak.

"Aku minta maaf." Hanya kalimat tersebut yang terus dirapalkan oleh Todoroki muda.

Tangan Bakugou terangkat untuk mengusap helai rambut Todoroki. Todoroki merasa nyaman. "Tidak apa. Ibumu pasti memaafkanmu. Maka dari itu, kau harus bertekad untuk sembuh." Bakugou berucap untuk menenangkan si pasien.

Oh Tuhan, Todoroki sangat merindukan kata 'kau' yang Bakugou tujukan untuknya. Seolah Bakugou berbicara dengan seorang teman.

***

Beranjak dari makam, Bakugou membawa Todoroki ke sebuah pantai. Dua jam perjalanan mereka butuhkan untuk sampai ke pantai ini.

Todoroki menatap lurus ke arah laut lepas. Warnanya biru membawa ketenangan. Tidak ada ombak terlihat. Angin yang dihasilkan di sini, dua kali lebih sejuk daripada angin biasa.

"Bagaimana?" Todoroki menoleh. Bakugou memandangnya.

"Pantai adalah tempat yang efektif untuk melepaskan segala pikiranmu yang berantakan." Ucap Bakugou selanjutnya.

Todoroki mengangguk. Ia memejamkan mata. Kepala Todoroki terasa lebih ringan. Ia membuka perlahan matanya. Tampak langit biru yang warnanya sedikit seiras dengan warna air laut.

Todoroki kemudian memandang kakinya yang tanpa alas. Mereka berpijak di pasir pantai yang lembab. Berdiri tidak jauh dari bibir pantai. Berteduh dibawah pohon kelapa. Kicau burung menemani. Suara arus air yang bergerak tipis ikut meramaikan situasi sepi tiada penghuni di pantai ini.

"Jika kau mulai merasa pikiranmu kalut, kau bisa mendatangi tempat-tempat yang sekiranya dapat membuatmu menyalurkan isi pikiranmu." Todoroki kembali menoleh. Ia lihat Bakugou berkacak pinggang.

"Seperti hutan, taman, dan pantai. Yang intinya kau merasakan pikiranmu dapat lebih ringan saat berada di tempat-tempat tersebut." Todoroki tersenyum simpul mendengarnya. Bakugou masih mempertahankan kata 'kau' saat berbicara dengan Todoroki.

Jantung Todoroki mulai berdetak kencang. Ia membuang wajah pada laut di depan sana. Lama kelamaan, merah mewarnai wajah Todoroki.

'Apa ini?' Todoroki tidak paham. Ia bergumam dalam hati.

Apakah benar bahwa dirinya memang menyukai sang dokter?

"Kadang manusia saja tidak dapat menjadi pendengar yang baik. Kau dapat mencurahkan isi pikiranmu pada alam bebas jika merasa tidak puas dengan respon yang kau dapatkan dari manusia." Bakugou masih melanjutkan perkataannya.

"Aku sering datang ke sini untuk melakukannya." Bakugou menoleh pada Todoroki dan mendapati wajah pemuda tersebut sudah semerah tomat. Bakugou terkekeh.

"Sampaikan perasaanmu. Jangan sering-sering dipendam." Itu adalah kalimat penutup Bakugou sebelum akhirnya mereka meninggalkan pantai.

***

Yo yo. Dengan Nana di sini. Sekali lagi terimakasih banyak buat yang selalu menunggu cerita Nana.

MirayukiNana

Senin, 3 Juni 2024.

HEALING [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang