3. Di Dalam Benak

8 2 0
                                    

Mentari menerpa, sinar yang membawakan kehangatan dan kilaunya. Berjalan beriringan bersama beberapa remaja kecuali aku. Melewati pepohonan yang menjulang tinggi, pohon-pohon yang menghalangi sinarnya hingga hanya membawakan kesejukan dan suasana pagi hari.

Suara beberapa kendaraan yang menjalankan mesinnya, dan beberapa anak sampai remaja berseragam batik tengah menuju sekolah dengan berjalan kaki. Aku mendongak ke atas sambil berjalan. Suasana fajar, langit berwarna biru keabuan dan nuansa jingga yang membuat awan-awan tampak menyerupai warna putih-jingga.

"Rasi, kami duluan. Baik-baik di sekolah ya..," ucap seorang gadis remaja pirang di belakangku.

Mereka sedang berada belakangku, aku berjalan paling depan, lalu berhenti ketika sudah menyadari bahwa kami sudah sampai di gerbang sekolah menengah pertama.

Aku berbalik untuk melihat mereka. "Ok, memangnya kapan aku membuat kekacauan di sekolah?" tanyaku, mataku menatap dua remaja di belakangku.

Risa menggeleng pelan, lalu tersenyum tipis dan hendak berbicara kembali. "Tidak, kakak hanya mengingatkanmu untuk menjaga dirimu di sekolah."

Aku balas tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, kakak juga hati-hati."

"Tenang saja rasi.. saat kakakmu tengah berjalan saja, orang-orang sudah menghilang dalam sekejap," ejek seorang lelaki remaja di sebelah risa, theo.

Risa mengangguk pelan, lalu berjalan masuk ke gerbang bersama remaja-remaja lainnya. "Hmm.. kakak pergi, sampai jumpa!"

Theo menoleh ke risa yang sudah pergi meninggalkannya. Ia mendengus kesal karena gagal memancing emosi gadis itu.

"Huh, aku juga akan pergi. Hati-hati rasi." Theo berbalik dan melambaikan tangannya, kemudian berjalan memasuki gerbang sekolah.

Aku tidak merespon apapun, hanya menatap theo yang berlari untuk mengejar risa. Di sana sudah ada kei yang menghampiri risa. Kemudian, mereka bertiga berjalan bersama sampai aku tidak dapat melihat punggung mereka dari sini.

Aku berbalik dan berjalan kembali, setelah mereka sudah menghilang. Aku berjalan sambil menyentuh dedaunan di semak-semak dan menatap lurus, sekolahku sudah bisa terlihat dari sini.

Bagaimana rasanya jika seseorang memiliki karunia teleport..

Huh, andai aku punya karunia teleportasi, mungkin aku sudah jarang berjalan sekarang..

Aku membiarkan diriku memutuskan kesadaranku dari realita, tengah melamun sambil berjalan hanya untuk membayangkan aku teleport ke dunia fantasi.

"Rasi!"

Aku menghentikan langkahku saat ada yang memanggilku, suara yang mengarah dari belakangku. Lalu aku menoleh ke asal suara itu untuk melihat siapa yang memanggilku.

Seorang anak lelaki tinggi dengan wajah yang tampak polos dan memakai kacamata, ia tengah berjalan menghampiriku. Kemudian berhenti saat sudah dekat denganku, sekarang kami tengah berhadapan.

"Raditya? kamu sudah sembuh..?" Aku mengangkat tanganku lalu menunjuknya, membalikkan tanganku dan mengacungkan kedua ibu jariku.

Anak lelaki yang sempat disebut namanya itu menatapku yang menggerakkan tanganku. Lalu, ia mengangguk setelah aku selesai. "Aku sudah sembuh."

Anak yang ada di hadapanku bernama raden raditya, sering di panggil adit dan dia adalah teman ekskul-ku. ia punya masalah dengan pendengarannya, jadi aku memakai bahasa isyarat dikarenakan tidak bisa mendengar dengan baik.

Aku menggerakkan tanganku lagi, membuat kalimat isyarat. "Kau sakit kemarin dan kau tidak berniat istirahat dulu?"

"Jangan khawatir, aku baik-baik saja."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sacred GiftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang