6. Mulai Terbawa Arus

56 22 43
                                    

"Menyelamlah semampumu jika tak ingin semakin tenggelam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Menyelamlah semampumu jika tak ingin semakin tenggelam."

- Kanin Zainnida Renata -

***

Jakarta, 2016

"Lo kenapa? Dari tadi senyum-senyum mulu?" Abel bertanya dengan heran. Ia perhatikan wajah Kanin yang terlihat begitu cerah sejak jam pertama pelajaran tadi hingga waktu istirahat tiba. Hal itu tentu mengundang pertanyaan darinya.

"Nggak papa," jawab Kanin dengan senyum lebar yang masih setia terpasang di wajahnya.

"Dapat door prize sepuluh juta, lo? Seneng banget?" tanggap Sevanya ikut menanggapi.

Kanin menggelengkan kepalanya. "Enggak, enggak, nggak papa," balasnya lagi.

"Kek orang gila tahu senyum-senyum sendiri kek gitu," ujar Abel masih dengan rasa herannya.

Kanin mengedikkan bahunya acuh tak acuh. Memangnya apa masalahnya? Ia hanya sedang merasa suasana hatinya sangat baik hari ini. Alih-alih menanggapi rasa heran kedua temannya itu, Kanin memilih untuk menikmati makanannya. Tentu dengan perasaan yang terbilang cukup baik.

"Gila, sih, gue pusing banget sama pelajaran tadi," ujar Abel mengalihkan topik pembicaraan. Wajah gadis itu terlihat masam. Memikirkan mata pelajaran matematika di jam pertama tadi cukup membuat otaknya terasa berdenyut nyeri. 

"Nanti kita bisa belajar sama-sama," balas Sevanya lalu kembali melahap makanan miliknya.

"Beneran?" tanya Abel antusias yang kemudian dijawab dengan anggukan kepala oleh Sevanya. Lagipula untuk apa Sevanya berbohong? Belajar bersama akan terasa lebih menyenangkan dibanding belajar di kelas menurutnya.

"Tapi tetep aja, gue malas belajar MTK, bikin pusing." Abel menghela nafas pelan lalu meneguk es teh miliknya. Ia rasa ia lemah untuk belajar mata pelajaran itu. Menatap angka-angkanya saja sudah membuatnya pusing apalagi berkutat dengan angka-angka tersebut.

"Lo aja udah males gitu, gimana mau paham," tanggap Kanin. Abel terdiam beberapa saat dengan wajahnya yang masih terlihat masam. Gadis itu menghela nafas pelan. "Bener juga."

"Nggak papa, pelan-pelan aja, nanti kita belajar bareng," ujar Sevanya yang kontan dihadiahi anggukan antusias dari Abel.

Di salah satu meja di kantin tersebut, ketiganya kembali mengobrol ringan. Hingga sebuah aroma maskulin yang terasa tak asing menyeruak masuk ke indra penciuman Kanin dan membuat atensi gadis itu teralihkan. Ia menoleh ke asal aroma itu berada. Tepatnya ke arah seorang laki-laki dengan balutan jas almamater SMA Shankara yang barusan melewati mejanya. Kanin terpaku beberapa saat dengan kedua netra yang lurus menatap laki-laki tersebut.

Pantas saja aromanya terasa tak asing, rupanya sang pemilik aroma itu adalah sesosok pemuda yang berpapasan dengannya di depan ruang musik pagi tadi. Sosok laki-laki dengan jemari lentik yang mampu memetik senar gitarnya dengan lihai, Agam Syahdan Saputra.

Garis Lengkara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang