Holla readers!
Masih mau lanjut baca nggak nih? Sedih banget sempat hiatus beberapa saat huhu. Nggak papa, cerita ini tetap bakal berlanjut kok. Jangan lupa siapin kopi dan camilan untuk menikmati narasi yang saya rangkai yaa, mwehehe :)
"Ritme yang kau ciptakan perlahan menciptakan garis antara kita berdua."
-Kanin Zainnida Renata-
***
Sebuah ritme yang terangkai begitu elok perlahan menyapa indra pendengaran Kanin dengan begitu ramah. Hal itu membuat Kanin menoleh ke asal suara. Tepatnya ke arah sebuah ruang dengan sebuah plang di sisi kusen pintu yang bertuliskan 'ruang musik'.
Kedua kaki Kanin perlahan melangkah. Sedang kedua matanya menangkap sosok laki-laki dengan punggung yang nampak begitu kokoh tengah duduk di ruang tersebut sembari memainkan gitar di tangannya. Sesekali kepala laki-laki itu bergerak pelan mengikuti ritme musik yang dimainkannya.
Seulas senyum tipis nampak tertarik di wajah Kanin. Kedua manik yang terpaku pada sosok laki-laki itu perlahan memancarkan binar kekaguman. Agam, laki-laki itu bermain gitar dengan begitu tenang hingga tak sadar jika seseorang tengah mengamatinya dari balik jendela ruang musik.
Sinar matahari yang menyapa dengan begitu hangat di luar sana, lalu disapa oleh irama musik yang terdengar begitu menenangkan. Pagi hari yang terasa begitu menyenangkan, begitulah yang Kanin rasakan saat ini.
"Kanin?"
Suara itu membuat Kanin tersadar. Gadis itu segera menolehkan kepalanya dan menatap ke asal suara. Tepatnya ke arah Gallen, yang entah sejak kapan telah berdiri tak jauh di sebelahnya.
"Gallen?" Kanin menyapa dengan sedikit kikuk. Ia memutar tubuhnya dan menatap ke arah laki-laki itu.
"Ngapain lo di sini?" tanya Gallen yang cukup membuat Kanin merasa gelagapan. Apakah Gallen menyadari kalau ia mengamati Agam sedari tadi?
"G-gue mau ke kelas," balas Kanin. Gadis itu menunjuk koridor sekolah yang searah dengan ruang kelasnya. Beruntung ruang musik dan ruang kelasnya memiliki arah yang sama. Ia yakin Gallen tak akan mencurigainya.
"Oh, ya!"
Kanin baru saja akan berbalik saat sesuatu membuatnya teringat. Ia mengangkat paper bag di tangannya dan mengulurkannya kepada Gallen.
"Ini jaket lo waktu itu, makasih udah minjemin," ujar Kanin. Tak lupa ia sertakan sebuah senyum di wajahnya sebagai bentuk tanda terima kasihnya kepada Gallen.
Gallen mengambil alih paper bag tersebut dari tangan Kanin. "Sama-sama."
"Yaudah, kalau gitu, gue ke kelas duluan ya," pamit Kanin yang hanya dijawab dengan anggukan oleh Gallen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Lengkara
Novela JuvenilMenyapa luka dalam hampa, memperkokoh langkah yang mulai goyah menjadi jejak langkah, beranjak mengais memori yang kian memburam. Dalam suatu episode per episode yang mulai hirap ditelan masa, sebuah pertanyaan yang telah lama menggelantung di memor...