01. When Our Eyes Meet.

7 0 0
                                    

Recomended song:
Amin Paling Serius ‐Sal Priadi, Nadin Amizah

๑ ⋆˚₊⋆ ────ʚ˚ɞ ────⋆˚₊⋆

Sore itu, kala matahari mulai kehilangan sedikit sinarnya. Pria berusia 41 tahun itu mulai melangkahkan kakinya ke tempat yang paling ia suka, Kedai Kopi Nusantara. Pekerjaan yang —untuk hari ini— telah usai, patut dirayakan dengan secangkir kopi dan sepiring kudapan lezat dari kedai itu, pikirnya. Jarak kedai dan rumahnya tidak lah jauh, dan kedai itu tidak berada di pinggiran jalan ibukota, sehingga membuat suasananya nyaman, sunyi, dan tenang.

Kakinya terhenti sejenak, memandangi gadis yang sedang duduk sendirian dengan menikmati secangkir kopi dan dua potong donat yang sepertinya sudah sejak lama tidak tersentuh olehnya. Kembali ia langkahkan kakinya, namun dengan mata yang masih setia melirik ke sang puan. "Mau pesan apa, mas?" Ah, ternyata telah sampai didepan kasir, memang gadis cantik dapat mengalihkan fokusmu sepersekian detik.

"Saya ingin kopi Bali Kinantami* satu, dan biskuit satu porsi." ucapnya. "Baik, saya ulangi ya. Kopi Bali satu, biskuit satu porsi, ada lagi mas?" dipandanginya sejenak lembaran menu yang tertempel dimeja kasir "Tidak ada, itu saja mbak." Ia lihat kasir itu sedang mendata pesanannya di komputer "Totalnya tigapuluh delapan ribu, mas." Ia serahkan uang sejumlah limapuluh ribu ke wanita dibalik meja kasir itu.

Setelah kembalian ia dapatkan, ia mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru kedai. Ah... tempat ini tak pernah sepi peminat, hanya ada satu tempat kosong diluar, tempat itupun telah di isi oleh gadis yang sejak awal menarik perhatiannya. "Ini pesanannya mas." Ia menarik nampan yang disodorkan oleh kasir, lalu membawanya ke area outdoor kedai.

"Permisi, boleh saya duduk disini?" Iris mata berwarna hitam pekat itu memantulkan cahaya matahari sore, membuatnya berkilau dan terlihat makin indah. "Silahkan, mas." Senyuman dan suaranya membuat Tirtayasa kehilangan kewarasannya sebentar.

Pria itu dengan cepat mengalihkan pandangannya, segera meletakkan nampan dan menarik kursi didepan gadis itu lalu perlahan duduk dengan canggung. "Terimakasih ya, dan maaf menganggu." Dia tersenyum singkat pada gadis didepannya. Gadis itu membalas senyum nya dengan kedua mata yang ikut membentuk senyuman juga, cantik.

"Gak apa-apa, mas. Kedai ini emang selalu ramai, sharing meja dengan orang baru udah lumrah." Gadis itu menyeruput kopinya yang sudah mendingin. "Flat white**?" Gadis didepannya mengangguk "Iya mas, saya gak terlalu suka kopi yang pekat." Yasa berpikir sembari meminum kopi hitamnya "Kenapa gak coba kopi Kintanami?"

Gadis dihadapannya terkekeh, ia memperbaiki posisi duduknya "Takut gak cocok, mas. Kapan-kapan deh saya coba." Tirtayasa hanya mengangguk, ia melirik tablet dihadapan gadis itu "Kamu komikus?" Seperti maling yang tertangkap basah, gadis itu menutup layar gadgetnya cepat. Ia menatap Yasa malu "Cuma iseng aja mas. Cari kesibukan." Yasa hanya mengangguk sebagai balasan.

"By the way, masnya sering dateng kesini?" Gadis itu bertanya dengan keraguan yang kental dinada bicaranya, sepertinya dia takut menganggu Yasa yang sedang menikmati kopi dan kudapannya.

Yasa meliriknya sekilas kemudian mengalihkan pandangannya pada jalanan kosong disisi kirinya. "Lumayan," Dia meminum kopinya lalu kembali melanjutkan jawabannya "Biasanya saya kesini kalau pekerjaan saya sudah selesai. Sekedar melepas penat sehabis mengerjakan pekerjaan yang lumayan menguras waktu dan tenaga saya." Gadis itu mengangguk pelan "Kenapa milih ke kedai kopi kecil begini, mas? Biasanya 'kan pekerja kantoran lebih milih caffé besar yang instagramable." Yasa terkekeh pelan, ia menarik napasnya perlahan.

"Disini nyaman, gak bising kendaraan bermotor ataupun musik dari speaker kedai. Kudapan yang mereka sajikan juga cocok sebagai pendamping kopi yang dipesan. Selain itu," Yasa menggantungkan ucapannya, ia melihat sekeliling kedai yang pengunjungnya mulai berkurang "Rumah saya cum 50 meter dari sini. Jadi daripada saya habisin bensin buat ke tempat yang kamu bilang itu, mending saya nongkrong disini. Sekalian dukung UMKM." Pria itu mengakhiri penjelasan dengan kekehan singkat yang membuat lawan bicaranya menatapnya tanpa berkedip. Ah... agaknya sang puan terpikat dengan pesona yang menguar dari sang tuan.

"Bener sih, disini nyaman. Rasanya kaya duduk diteras rumah sendiri. Kopi dan kudapan yang dijual juga gak kalah enak dari tempat-tempat di pusat kota. Kalau kata anak-anak gaul sekarang sih hidden gem***." Gadis itu terkekeh dengan ucapannya sendiri. Mereka kemudian sibuk dengan kegiatannya masing masing hingga tak sadar bahwa minuman dan makanan yang mereka pesan sudah habis tak bersisa.

"Ngobrol sama kamu seru juga. Saya tadinya sempat berpikir kalau kamu akan terganggu karena saya gabung dimeja kamu." Pria itu mengeluarkan isi pikirannya, membuat sang gadis terkekeh hambar. "Daripada sendirian terus bengong, mas." Gadis itu memandangi pria didepannya lekat, Yasa yang merasa diperhatikan menoleh.

Mata mereka bertemu, saling menyelam di keheningan yang mereka ciptakan sendiri. Cantik kata yang dapat menggambarkan gadis didepannya, iris matanya yang hitam pekat seakan menarikmu kedalam lubang hitam tak berujung, memaksamu masuk dan menyelaminya untuk tahu lebih jauh. Mencoba menjebakmu untuk terus berada didalamnya dan memerangkapmu agar kamu terus berada didalamnya.

Rasanya, Tirtayasa ingin terus berada didalamnya. Tak ingin memberontak melepaskan diri, ia ingin terkurung didalamnya, menikmatinya untuk dirinya seorang. Ia ingin terus berada didalamnya, dipenjara didalam lubang hitam tak berdasar milik sang puan, ia rela menyelami lautan itu lebih dalam, mencari setitik rasa nyaman yang membuatnya tak ingin pulang.

"Saya Alana, saya suka ngobrol sama mas. Rasanya kaya brainstorming****." Boleh tidak Yasa besar kepala mendengar pujian tersirat yang gadis itu—Alana— sampaikan padanya. Rasanya ia ingin tersenyum lebar, namun takut menakuti gadis dihadapannya.

"Saya Yasa. Kamu juga asik, Alana. Saya tadinya gak berekspektasi lebih saat datang ke meja ini. Saya sempet parno kamu menganggap saya laki-laki yang ingin modus." Alana terkekeh pelan, dia menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir dengan lelaki didepannya "Muka mas Yasa gak menggambarkan lelaki tukang modus kok, tenang aja. Saya juga gak sempet mikir gitu." Balasan itu, ntah mengapa membuat senyum Yasa terbit.

"Syukur deh, senang bertemu kamu, Alana. Semoga kapan-kapan kita bisa ketemu lagi, ya."

Sore itu Yasa tak menikmati kopinya sendirian, ada Alana, gadis penikmat kopi yang menemaninya. Dan Yasa berharap, takdir membawa gadis itu untuk menemaninya dilain waktu, menikmati kopi dengan obrolan ringan bersamanya.

"Bolehkah dipertemuan pertama ini, aku membayangkan pertemuan kita yang lainnya? Rasanya, aku akan jadi manusia yang merugi jika tidak dapat bertemu kembali denganmu."

๑ ⋆˚₊⋆ ────ʚ˚ɞ ────⋆˚₊⋆ ๑

—Pematang Siantar, 04 Juni 2024

Kamus kini:

*Kopi Kinantami adalah kopi dengan citra rasa asam (citrus seperti jeruk) memiliki tekstur light, tidak pahit, juga aftertaste lembut.

**Flat White adalah cara penyajian kopi seperti cappucino namun dengan busa yang lebih sedikit.

***Hidden gem adalah tempat yang berada dipinggiran kota, desa ataupun tempat terpencil dan sulit dijangkau yang memiliki pemandangan ataupun menu yang memanjakan mata atau lidah.

*****brainstorming adalah berdiskusi untuk saling bertukar pendapat dan mendapat ilmu baru.

๑ ⋆˚₊⋆ ────ʚ˚ɞ ────⋆˚₊⋆

We & A Cup of CoffeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang