02. Tirtayasa Wirabuana

4 0 0
                                    

A/N: latar waktu pada bab ini dan bab 3 adalah setelah pertemuan Mas Yasa dan Lana di kedai kopi.

Recomended song:
Jangan Pilih Aku‐Dikta Wicaksono
๑ ⋆˚₊⋆ ────ʚ˚ɞ ────⋆˚₊⋆ ๑

Tirtayasa Wirabuana, lelaki berusia 41 tahun itu sudah menjalani banyaknya manis dan pahit kehidupan. Orang bilang ia adalah pria paling realistis[1], aneh dan tidak memiliki ambisi dalam hidupnya. Tirtayasa tidak akan menampik opini 'Tirtayasa pria yang tidak memiliki ambisi' karena fakta yang ada memang demikian. Ia rasa, ambisi hanya akan membuat kita merasa gagal saat hal itu tidak dapat kita wujudkan. Hanya akan membuat sakit, dan menyalahkan diri sendiri. Jadi lebih baik tidak memilikinya dan menjalani hidup sesuai dengan takdir yang ada. Bukan berarti Yasa hanya akan pasrah, dia akan tetap berusaha namun tidak akan terlalu mengejar keberhasilan dan merasa jatuh saat yang didapat adalah kegagalan.

Tirtayasa memiliki dua orang teman yang merangkap menjadi penasehat dan penyemangat diwaktu-waktu tertentu. Bagas adalah rekan kerja saat ia dulu bekerja disalah satu bank swasta mereka berdua sama-sama bekerja sebagai credit analyst[2] kedekatan keduanya bermula dari sana dan berlanjut sampai sekarang. Lalu ada Satria, teman semasa Sekolah Menengah Atas. Satria sendiri sekarang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di salah satu instansi. Bagas dan Satria bertemu saat sama-sama berkunjung kerumah Yasa 12 tahun silam, keduanya merasa cocok dan akhirnya berteman hingga sekarang.

Yasa sendiri sekarang bekerja sebagai accounting manajer[3] disalah satu perusahaan yang menerapkan work from home[4], namun sesekali Yasa akan ke kantor jika ada keadaan yang tidak memungkinkan untuk bekerja dari rumah. Yasa sekarang tinggal terpisah dari orangtua serta saudaranya. Ia ingin hidup mandiri dari hasil kerjanya dan tidak ingin merepotkan ibunya.

Ayahnya meninggal 11 tahun silam karena terkena penyakit mematikan yang terlambat diketahui oleh keluarga sehingga penanganan yang didapatkan pun terlambat. Selepas mendapatkan perawatan intensif selama tujuh hari, pria yang sudah Yasa anggap superhero[5] keluarga itu menghembuskan nafas terakhirnya. Katakanlah Yasa aneh, namun itu tidak membawa kesedihan yang mendalam pada dirinya karena menurutnya itu adalah cara Tuhan melepaskan rasa sakit dari pria hebat yang menjadi pendorong Yasa mewujudkan mimpinya selama ini.

Yasa kini hanya memiliki Mama dan seorang kakak perempuan yang selalu menjadi semangatnya menjalani hari yang akan datang. Kakaknya sekarang berusia 45 tahun, sedangkan Mamanya sudah memasuki usia senja. Yasa bersyukur Mama masih tetap sehat dan bugar di usia senjanya, Mama itu immortal[6] itu kalimat andalannya setiap kali sang Mama mengungkit usianya.

Kini, Yasa sedang duduk berdampingan dengan sang Mama diteras rumah wanita itu. "Mas Yasa, aku males masak. Beli makan aja ya?" Wanita yang sedang melihat-lihat tanaman didalam pot itu menoleh kearah putranya. "Iya Ma, Mas Yasa nanti beli, gampang itu. Mama mau makan apa? Biar Mas Yasa beliin sekalian," Yasa mengalihkan pandangannya dari ponsel pintarnya, menatap lekat Mama yang tak lagi muda. Senyum tipis terbit dibibirnya.

"Gak tau, Mama bingung mau makan apa." Wanita itu berjalan menuju putranya, lalu duduk disamping Tirtayasa yang sedang duduk di kursi kayu berbahan kayu jati. Pria itu mengelus rambut mamanya pelan "Kalau mas Yasa panjangin rambut kaya Mama, boleh?" Wanita itu menoleh lalu melempar pandangan tajam ke putranya yang cukup jail itu. "Gak usah bertingkah mas. Jelek, kaya anak gak ke urus kamu panjang-panjangin rambut. Kaya gembel." Yasa tertawa mendengar omelan mamanya, ah... dia suka sekali ketika mamanya mulai melontarkan kalimat omelan.

Disandarkannya kepalanya ke pundak wanita kesayangan nya. "Ma, kita makan sate yang deket GOR[7] aja yuk?" Ia memainkan jemari mama yang kulitnya mulai keriput dan tak sekencang dulu "Ya ayo, kemarin aku mau beli ke sana tapi males." Yasa terkekeh lalu membawa tangan Mamanya ke depan bibirnya, dikecupnya tangan itu dengan penuh kasih.

We & A Cup of CoffeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang