"Jika payung dapat menghalau Tangisan semesta, tak bisakah ia menghalaukan tangisan kita juga?"
💧💧💧Jaket berwarna Navi membaluti sebagian tubuhnya--hingga menutupi baju putih seragam sekolah yang ia kenakan. Seorang lelaki tengah terduduk disebuah halte. Derasnya hujan yang membuatnya seperti sekarang.
Terdengar hembusan napas pelan yang melongos begitu saja.
"Sial." Umpat lelaki tersebut seraya menggusar rambut hitamnya yang menjuntai di dahinya ke belakang.
Ia sedikit mendongak. Atensinya tak sengaja menangkap sesosok orang yang ia pikir bodoh itu tengah berteduh di bawah pohon.
"Bahkan pohon beringin pun gak akan bisa di tempati buat berteduh," ujarnya.
Ia beranjak dari tempat duduknya. Berdiri lalu membenarkan jaketnya. Kakinya berjalan melangkah dengan langkah kaki yang sengaja dipercepat ia menerobos derasnya hujan.
Seorang gadis. Itu yang ia tangkap sekali lihat postur dan tinggi badannya yang cukup pendek. Tubuh gadis itu terbaluti oleh Hodie warna merah muda. Dimana Hodie itu terbilang kebesaran karena hampir menenggelamkan dirinya. Dan juga kain Hodie itu cukup tebal.
Lelaki tersebut menaikkan sebelah alisnya. Kini ia berada tepat di depan gadis itu yang hanya diam dengan kepala yang terus menunduk. Kepalanya sedikit menunduk untuk melihat gadis itu karena tinggi gadis itu sebatas dengan dadanya. Mungkin lebih turun.
Karena bukan jaket kulit yang ia pakai, alhasil jaket yang saat ini ia kenakan telah basah diguyur hujan. Ia merasa percuma saja ia berdiam diri di halte tadi untuk menunggu hujan mereda namun sudah hampir setengah jam hujan tak kunjung reda juga.
"Kalau mau neduh, bukan pohon tempat yang tepat," ucapnya mengawali percakapan.
Tak ada suara yang akan menjawab ucapannya tadi. Gadis itu masih terdiam membisu. Namun selang beberapa detik suara lirih yang hampir tak terdengar itu berkata, "Benar. Pohon bukan tempat yang tepat untuk berteduh. Tapi pohon adalah tempat yang tepat untuk menggantikan bahu kala kita ingin bersandar."
"Kenapa harus digantikan dengan Pohon? Banyak hal yang bisa menggantikan sebuah bahu--seperti yang lo katakan tadi. Contohnya tembok? Kasur, mungkin?" Ucap lelaki tersebut. Ia sedikit berpindah hingga berada di samping gadis tersebut. Bersedekap dada, ia menyandarkan punggungnya pada pohon. Matanya tak lepas menatap gadis itu.
Gadis itu menggelengkan kepala. "Bagi gue, tembok adalah pendengar yang baik. Tak seperti kebanyakan manusia yang pelik akan mendengarkan keluh kesah orang lain. Sudah begitu mereka sering membuat mulut sendiri hingga dari mulut ke mulut terdengar."
"Lo nyakitin diri sendiri kalau begitu. Lihat diri lo sendiri, lo bisa sakit," ujar lelaki tersebut. "Kan lo bisa nunggu hujan sampai mereda dulu."
Gadis itu menjawab, "Justru karena hari ini hujan turun-- yang membuat sebuah momen yang begitu gue rindukan bisa teredakan."
"Di sini, di bawah pohon ini disertai guyuran hujan yang pernah menjadi saksi bisu dari kisah itu."
Atensi mereka berdua teralihkan pada suara klakson dari mobil putih di depan mereka.
"Renki! Cepet masuk ke mobil. Ini aku, Eva. Aku yang mau jemput kamu! Supir yang mau jemput kamu gak bisa katanya."
Renki, nama lelaki tersebut. Ia mendengus saat mendengar alasan gadis di dalam mobil putih itu datang kemari.
"Sialan. Pantes dari tadi gak dateng-dateng."
Ia menegakkan punggungnya yang tadi bersandar di batang pohon. Menatap gadis di sampingnya yang masih terdiam tak berkutik.
"Lo mau diam kayak patung di sini terus?" tanyanya namun tak di tanggapi oleh sang empu.
"Gue anterin sekalian, mau? Gratis gak bayar," tawarnya sekali lagi. Namun gadis tersebut masih bergeming.
Menghela napas pelan, ia berbalik menuju mobil putih itu. Tak lama kemudian, terlihat ia berjalan ke arahnya dengan membawa sebuah payung berwarna biru tua polos.
Sekarang Renki berada di depannya, ia menghalau tetesan air hujan yang akan mengguyur tubuhnya dengan payung yang ia bawa.
Renki mengambil salah satu tanggan gadis tersebut. Memberikan payungnya kepadanya.
"Nih. Gue kasih. Meski sudah terlanjur basah, tapi derasnya hujan bikin kulit terasa seperti di tusuk. Ya meski hodie lo cukup tebal sih." Setelahnya ia berbalik. Namun suara dari gadis di belakangnya itu membuat langkahnya terhenti.
"Jika payung dapat menghalau Tangisan semesta, tak bisakah ia menghalaukan tangisan orang juga?"
Renki tersenyum." Karna tugasnya hanya menghalau bukan menghapuskan." Setelahnya ia pergi--masuk ke dalam mobil putih tersebut.
"Lebih baik hujan karena ia bisa menghapuskan," monolognya. Wajahnya sedikit terangkat. Ia bisa melihat mobil yang di tumpangi lelaki tadi mulai berjalan menjauh. Ia membuka tudung hodienya. Kulit wajahnya yang putih terlihat lebih putih ke pucat karena mungkin ia terlalu lama berada disini. Matanya menyayu. Bibir pinknya bukan lagi pucat tapi sudah mulai membiru.
Sedangkan di dalam mobil putih itu terdapat dua insan berbeda jenis yang terduduk anteng di tempat duduknya masing-masing dengan seorang gadis cantik berambut hampir sepunggung berwarna coklat kekuningan--yang menyetir mobilnya. Sedangkan Renki terlihat mengeringkan rambutnya dengan sebuah handuk putih yang baru diberikan oleh gadis tersebut.
"Kiki, tadi itu siapa? Kayaknya perempuan, deh." Tanya gadis tersebut sambil mengemudikan setir.
"Kamu kok bisa ada di sana, sih. Kan bisa nunggu di halte. Itu juga, payung yang kamu beri tadi bukannya itu payung yang kamu beli kemarin, ya? Kok kamu kasih, sih." Cecarnya.
Renki hanya diam dengan mata terpenjam. Lalu mulutnya mulai bergerak. "Cuma pengen mandi hujan aja. Kalau soal payung, ya udah sih, Va. Kan bisa beli lagi. Keluarga gue kaya. Jangankan satu, satu pabriknya bahkan lebih bisa di jabanin buat gue, anak tersayang mereka," jawabnya acuh.
Vania terkekeh mendengar Renki yang menyobongkan dirinya itu.
"Biasanya kamu cuek tau kalau sama orang asing. Apalagi berdekatan dengan seorang perempuan. Wow. Ini adalah investasi yang harus aku apreasikan bukan sih? Jarang banget loh Ki kamu bisa berdekatan dengan lawan jenis selain mama kamu, mamaku, dan aku. Apalagi sampai peduli gitu." Vania terus iseng untuk menggoda Renki. Namun tak ada respon dari lelaki yang berada di sampingnya itu selain mendengus.
"Benar yang lo katakan tadi Va. Padahal dia cuma orang asing. Tapi gue ngerasa gak asing." Renki mengucapnya dalam hati.
***
Seorang wanita paruh baya dengan rambut di ganggul itu nampak berjalan tergopoh-gopoh. Payung di tangannya yang ia pegang dengan erat. Atensinya terus memandang sedih pada seorang gadis cantik yang masih bergeming di bawah pohon.
Ia berjalan mendekatinya. "Sayang. Deva, udah ya, Nak. Kita pulang. Sampai kapan kamu mau seperti ini," ucapnya sembari memberinya naungan dengan payung yang ia bawa itu agar tak terkena derasan hujan. Ia memegang tangan gadis itu, anaknya.
Deva menoleh ke arah ibunya. Ia menganguk pelan. Lalu ia berjalan dengan lengannya yang sudah dirangkul sang ibu, kepalanya ia taruh ke pundak milik ibunya. Payung biru tua pembarian lelaki tadi sudah terlipat dan ia pegang di sebelah tangannya.
💧
💧
💧
TBC.

KAMU SEDANG MEMBACA
Your Presence
Teen Fiction"Layaknya Bianglala yang banyak diharapkan oleh orang-orang saat Varsha mereda, aku juga mengharapkan momen itu tiba."