10

452 64 8
                                    

***

Kebahagiaan yang tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata ketika kita membuka mata, yang dilihat pertama kali adalah orang yang amat kita cintai. Jihan memandangi wajah suaminya yang masih terlelap, tangan lentiknya mengabsen pahatan sempurna itu. Mata sipit disertai bulu mata yang indah, hidung yang mancung dan terakhir bibir tebal yang sering melahapnya itu.

"Ini masih pagi sayang," Suara serak khas bangun tidur itu membuat Jihan tersentak, dan menurunkan tangannya dari wajah tampan suaminya itu. Dengan segera menutup matanya berpura-pura tidur, Hendra yang melihat itu tersenyum geli.

Sekarang berganti, Hendra yang menelusuri wajah ayu istrinya yang sedang berpura-pura terlelap itu. "Masih mau pura-pura tidur?" Jihan tersenyum kecil lalu perlahan membuka matanya dan menatap Hendra yang sedang menatapnya juga.

"Selamat pagi!" Sapa Jihan dengan senyuman paling menawannya.

Cup

Hendra mengecup bibir Jihan seperkian detik, "Morning kiss," Jihan memukul dada bidang Hendra. "Aku belum gosok gigi ih!"

Hendra tertawa geli, "Aku juga belum apa-apa."

Jihan menggeleng-gelengkan kepalanya, "Udah ya, aku mau mandi." Dirinya segera beranjak.

Hendra juga ikut beranjak dan mengikuti Jihan dari belakang. "Ayo mandi bareng sayang." Bujuk Hendra.

Jihan menggeleng keras, "Aku lagi dapet mas Hendra. Aku tidak mau kamu lihat darahnya."

Hendra menggeleng. "Aku tidak akan lihat." Jihan tetap menggeleng, teguh pada pendiriannya.

"Kamu mandinya setelah aku ya. Aku tidak lama kok mandinya." Jihan menutup pintu kamar mandi dan segera memulai ritualnya, menyisakan Hendra yang memanyunkan bibirnya.

Setelah bersiap-siap, kini mereka tengah menikmati sarapan pagi. Sesekali melempar candaan dan tertawa geli, pasangan suami istri itu tampak bahagia.

"Mas Hendra, kamu berangkat duluan aja ke Pasaraya." Jihan telah selesai dengan makanannya.

"Kamu mau kemana dulu?" Tanya Hendra yang juga sudah menuntaskan sarapannya.

"Aku mau ke rutan dulu, mau jenguk tante Bianca."

"Aku antar kalo gitu." Jihan menggeleng cepat.

"Tidak usah mas, kamu hari ini pasti rapat sama ayah." Hendra mengernyit.

"Kalo aku rapat, kamu juga harusnya rapat dong sayang. Kamu kan direktur Pasaraya." Jihan tersenyum manis.

"Sudah tidak." Jawaban dari mulut Jihan membuat Hendra terkejut beberapa waktu.

"Kenapa bisa? Kemarin ayah dan ibu sudah tau kebenarannya kan?" Tanya Hendra.

"Sudah, kamu berangkat sekarang. Aku diantar supir kok, nanti aku kabarin kamu." Hendra dengan enggan mengangguk dan mencium kening istrinya untuk berpamitan.

"Semoga semua berjalan sesuai harapan." Lirih Jihan dengan menatap sendu punggung suaminya yang perlahan menghilang dihadapannya.

***

Ketika sampai di gerbang rutan, mata Jihan tertuju pada pagar tinggi yang menjulang, disertai kawat berduri yang seolah-olah menambah berat beban di dadanya. Jihan menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum memasuki gedung utama.

Petugas jaga dengan ekspresi kaku menyambutnya, memeriksa barang bawaan dan identitasnya dengan teliti. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Jihan dipersilahkan untuk menemui tahanan dengan nomor 978- bibinya, Bianca.

"Gimana kabar bibi? Apa bibi tidur nyenyak disini?" Tanya Jihan dengan air mata yang sudah berlinang, melihat Bianca lebih kurus dari sebelumnya.

"Menurut kamu apakah aku bisa tidur nyenyak disini?" Tanya Bianca balik dengan geli mendengar pertanyaan keponakannya. Tangisan Jihan semakin kencang, hatinya sangat sakit melihat orang yang selalu membelanya berakhir seperti ini.

"Jangan menangis. Sudah satu bulan kita tidak bertemu, ternyata kamu semakin cengeng." Bianca mengelus punggung tangan Jihan dengan lembut.

"Seharusnya dulu bibi tidak menghajar kak Hanna demi aku, mungkin bibi tidak akan menderita seperti ini." Jihan mengingat dengan jelas saat dirinya dinyatakan keguguran akibat makanan yang diberikan Hanna, bibinya ini langsung menghajar Hanna dengan brutal. Orang tuanya yang tidak mengetahui kejadian sebenarnya langsung menjebloskan bibinya ke penjara.

"Justru aku kurang puas dengan pukulan yang aku layangkan pada kakakmu itu." Bianca meregangkan ototnya yang pegal, dan terdengar bunyi 'kretek' yang membuat Jihan meringis ngeri.

"Bagaimana hubunganmu dengan Hendra? Baik-baik saja kan?" Tanya Bianca menyelidik, mendapat pertanyaan itu Jihan menundukkan kepalanya. Entah kenapa dia tiba-tiba menjadi malu.

Namun, Bianca salah mengartikan tingkah keponakannya itu. "Kamu harus mendengar nasihatku Jihan, jangan sampai kamu berakhir seperti aku." Bianca berbicara seperti itu, karena dia tidak mau keponakannya gagal dalam hubungan seperti dirinya yang sudah gagal tiga kali dalam pernikahan.

Jihan menerawang ke mimpi buruknya, nyatanya dia berakhir sama seperti Bianca yang gagal dalam pernikahan dan berakhir dibalik jeruji besi.

"Hubunganku dengan Mas Hendra baik-baik saja." Bianca memandangi Jihan yang masih menundukkan kepalanya.

"Kamu tidak berbohong kan?" Jihan tersenyum manis, Bianca tertegun melihatnya. Keponakannya tidak berbohong, rumah tangganya baik-baik saja dan dia bersyukur akan hal itu.

"Disini aku selalu berdoa akan kebahagiaanmu, semoga tidak ada lagi kesedihan yang menghampirimu." Bianca tersenyum tulus diakhir kalimatnya.

Jihan tersenyum getir, "Semoga bibi juga mendapatkan kebahagiaan, bibi harus sehat sampai Mas Hendra bisa mengeluarkan bibi dari sini." Bianca mengangguk beberapa kali.

"Jam besuk sudah habis, tahanan 978 ayo kembali ke sel." Ucap petugas yang langsung menyeret tubuh kurus Bianca. Jihan memandangi punggung Bianca yang lama-kelamaan menghilang dari pandangannya pun segera beranjak pergi dengan perasaan sedih yang masih tertinggal.

"Akhirnya aku bisa bernafas lega, kamu berhasil memperbaiki kesalahanmu pada kesempatan kedua ini Jihan." Tutur Bianca dengan matanya memandangi dinding  yang penuh dengan tulisan-tulisan acak dengan darahnya sendiri.

***

"Sudah aku bilang jika aku tidak bersalah! Kau tuli?!" Teriak Satria yang mendapat rentetan pertanyaan dari detektif.

Sang detektif memutar bola matanya. Dia menyodorkan rekaman dan dokumen yang menjadi bukti kejahatan dari Satria. "Jangan membuang waktuku, ini semua bukti kejahatanmu. Jadi, jangan mengelak lagi. Atau aku akan buat kau jadi samsak tinjuku."

"AKU DIFITNAH OLEH BAJINGAN HENDRA ITU! LEPASKAN AKU BRENGSEK!" Tangan Satria menarik kerah detektif yang dengan mudahnya dia hempas.

"Dia tidak kooperatif, langsung masukkan dia ke penjara!" Titah detektif. Satria langsung diseret oleh dua orang.

"Kalian akan menyesal karena telah melakukan ini kepadaku! Tunggu saja! Hendra sialan! Aku akan membalasnya." Teriakkan Satria menggema.

"Cih, merepotkan sekali." Komentar detektif melihat kegaduhan yang diciptakan Satria.

Dilain tempat, seseorang mengacak-acak meja riasnya sampai semua benda-benda diatasnya berjatuhan ke lantai.

"Jadi, pria tidak berguna itu tertangkap setelah semua rencana yang aku buat?" Ucapnya frustrasi.

"Ini akibatnya jika melibatkan perasaan. Semua jadi kacau balau!"

Netranya menatap pantulan dirinya dicermin, dia menampilkan seringai liciknya.

"Jangan puas dulu, ini baru permulaan. Sepertinya kamu melupakan aku Jihan." Senyumnya semakin mengembang menampilkan deretan giginya yang rapi.

Tawanya membahana di seluruh ruangan, membayangkan kehancuran orang-orang yang dia benci.



***

hi, hehe apakah masih ada yang baca cerita ini?

Us Again (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang