00

1.8K 114 6
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


***

Di dalam sel yang kecil dan gelap, seorang narapidana duduk sendiri, menatap ke langit-langit yang tak bercahaya. Waktu terasa berjalan lambat, seperti setiap detik terasa seperti abad. Dia merenung tentang kesalahannya, memikirkan pilihan yang telah dia buat dalam hidupnya. Suara langkah kaki penjaga yang lewat di koridor terdengar seperti deru badai yang mendekat, mengingatkannya akan nasib yang tak terelakkan. Dalam diam, dia menunggu waktu eksekusi, memikirkan tentang hidup dan kematian, tentang kesempatan yang telah hilang dan harapan yang terabaikan. Sesekali, dia memandang keluar jendela besi yang tak dapat dia lewati, memandang langit yang bebas, yang sekarang terasa begitu jauh baginya.

"Narapidana 1031, sebelum waktu eksekusimu tiba kau diberikan satu permintaan." Tutur penjaga, narapidana mengalihkan pandangannya kepada penjaga itu.

Narapidana itu berdehem membersihkan tenggorokannya yang perih, "Aku ingin bertemu dengan mantan suamiku."

Jihan Wina Atmaja, narapidana dengan nomor 1031 duduk dengan tegak dihadapan lelaki yang telah menjadi mantan suaminya. "Bagaimana kabarmu Hendra?" Lelaki bernama lengkap Hendra Surya Kusuma menyunggingkan senyum miring.

"Sangat baik melihatmu menderita seperti ini." Jihan tersenyum pahit mendengar kata-kata itu. Hendra yang lemah lembut kini berubah menjadi ketus dan sinis.

"Aku minta maaf dengan semua yang terjadi." Ucap Jihan dengan tulus penuh penyesalan.

Hendra melonggarkan dasinya, amarahnya memuncak mendengar permintaan maaf dari Jihan. "Sangat mudah bagimu bicara seperti itu setelah hal keji yang kamu lakukan?" Jihan menunduk, sangat amat menyesal.

"Ucapanmu barusan tidak membuat dia kembali," Jihan mendongakkan kepalanya, menatap mata Hendra yang memancarkan kebencian mendalam.

"Semua aku lakukan karena aku mencintaimu." Lirih Jihan.

Hendra tertawa sejenak, dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak habis pikir dengan jalan pikir wanita dihadapannya. "Harusnya kata-kata itu kamu ucapkan saat kita masih bersama. Sekarang, tidak ada gunanya untukku. Aku akan memaafkanmu setelah kematianmu." Hendra bangkit dari duduknya meninggalkan Jihan yang terisak.

Kini, waktu eksekusi Jihan telah tiba. Dia tidak bisa kabur kemana-mana lagi untuk meminta pertolongan. Tidak satupun keluarganya yang menjenguk Jihan saat didalam sel, karena perbuatan yang dilakukan Jihan sangat berpengaruh pada bisnis keluarganya. Mereka menganggap Jihan sebagai aib keluarga Atmaja.

Jihan berdiri sendiri diakhir hayatnya, kepalanya ditutup oleh kain. Matanya terpejam, membayangkan wajah lelaki yang amat dia cintai dari dulu hingga sekarang. Bagaimana wajah tampan lelaki itu yang tersenyum lembut kepadanya, suara bariton yang memanggil namanya dengan penuh sayang.

Jihan sangat amat menyesal, kenapa dia dulu bisa berlaku semena-mena kepada suaminya? Kenapa dia membiarkan suaminya tertekan dan terhina oleh keluarganya? Dan, kenapa dia membiarkan lelaki itu pergi dari hidupnya?

Jika diberikan kesempatan kedua untuk memperbaiki semuanya di masa lalu, Jihan berjanji akan memperlakukan suaminya dengan penuh kasih sayang, membela dihadapan keluarganya dan tidak akan pernah membiarkan lelaki itu pergi dari sisi hidupnya.

DOR!

DOR!

DOR!

Tubuh Jihan ambruk ke lantai dengan darah yang bercucuran. Nafasnya terhenti, Jihan meninggalkan dunia dengan penyesalan yang mendalam.

***

Dengan napas tersengal-sengal, wanita itu terbangun dari mimpi buruk yang terasa begitu nyata. "Kenapa aku disini? Bukannya aku sudah mati?"

Hatinya masih berdebar keras, dan tubuhnya diliputi oleh keringat dingin. Pemandangan kamar yang tenang dan cahaya redup dari jendela membantunya membedakan antara kenyataan dan mimpi. "Apa semua itu hanya mimpi? Tapi, aku merasa itu semua kenyataan."

Jejak mimpi itu masih terasa begitu segar di pikirannya, menghantui dan menyiksa. Dalam kegelapan, dia memeluk dirinya sendiri, mencoba mengusir bayangan-bayangan yang menakutkan. Meski dia tahu itu hanya mimpi, namun sensasi teror yang menyertainya terasa nyata sekali.

Dengan perlahan, dia berusaha menenangkan diri, menghirup napas dalam-dalam, membiarkan kesadaran tentang kenyataan meredakan kecemasannya. Hingga akhirnya, dia mampu meraih kembali ketenangan, menyingkirkan mimpi buruk yang terus menghantuinya, dan membiarkan cahaya pagi membasuh ketakutan yang tersisa.

Jemarinya meraba-raba meja disamping ranjang, dan menemukan telepon genggamnya. Matanya membelalak melihat tanggal yang tertera disana, tiga bulan sebelum perceraian. "Tidak mungkin! Apakah ini benar? Apakah Tuhan memberikan aku kesempatan kedua?" Air mata mengalir deras dipipinya. Air matanya tak dapat dihentikan, bibirnya terus menerus menggumam ucapan syukur.

"Terimakasih Tuhan, terimakasih banyak..." Perhatiannya teralihkan kala pintu kamarnya diketuk. Dengan masih terisak dibukanya pintu kamar itu, dan menampilkan sosok tinggi yang amat sangat dia cintai memandangnya dengan khawatir.

"Jihan, apa yang terjadi?" Tanyanya. Tanpa pikir panjang, Jihan memeluk tubuh itu dengan erat. Menumpahkan segala kesedihannya disana.

Tangan Hendra mengelus surai Jihan dengan lembut, "Kenapa? Apakah ada masalah?" Jihan menggeleng.

Kepala Jihan mendongak, memandangi wajah tampan Hendra yang kebingungan. "Aku tidak mengerti dengan apa yang kamu alami, tapi kenapa belum bersiap? Kamu tidak akan berangkat ke pasaraya?" Jihan menelisik tampilan Hendra yang sudah rapi dengan setelan jas.

"Hari ini aku tidak enak badan." Hendra menyentuh kening dan leher Jihan. "Apa yang sakit?"

"Aku mencintaimu," Ucap Jihan tanpa ragu. Hendra terkejut mendengar pernyataan itu, wanita dengan ego tinggi ini menyatakan cintanya lagi.

"Sepertinya kamu memang benar sakit," Hendra menuntun Jihan ke dalam kamar, lalu dibaringkannya Jihan diranjang.

"Aku akan memanggil dokter Rayhan untuk memeriksamu,"

"Aku mencintaimu Hendra," Hendra menaikkan selimut ke tubuh Jihan. "Istirahat, jangan berbicara omong kosong."

"Aku tidak berbicara omong kosong, aku sangat mencintaimu." Jihan mulai terisak, Hendra kebingungan dengan tingkah istrinya itu.

"Apa yang terjadi denganmu sebenarnya?" Hendra duduk dilantai mensejajarkan dirinya dengan Jihan.

"Tidak ada, aku hanya menyadari bahwa aku sangat mencintaimu," Jihan menatap Hendra penuh cinta dan sayang.

Hendra menghela nafas, "Baiklah. Hari ini aku ada sidang, dokter Rayhan akan segera datang dan memeriksamu. Aku akan segera pulang setelah sidang selesai." Hendra bangkit dari duduknya, lalu pergi meninggalkan Jihan yang menatap kepergiannya.

"Aku tidak akan menyerah, pasti dia terkejut dengan pernyataanku tadi. Aku akan mencoba lagi dengan perlahan."

TBC

Us Again (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang