Weekdays menjadi waktu yang paling sibuk untuk Efrain, dia sangat jarang berkirim pesan pada Indira. Selain mengambil job di dua rumah sakit berbeda, dia juga harus memantau bisnisnya. Terkadang dia pulang cukup larut malam. Berkirim pesan bukanlah bagian dari perjanjiannya.
Indira pun sepertinya mengerti hal itu, dia sangat jarang mengirim pesan lebih dulu. Hingga di hari sabtu ini Efrain meminta Indira untuk ke salon merias dirinya, dia akan mengajaknya ke pesta pernikahan adiknya.
Sebenarnya Efrain sangat enggan, akan tetapi permintaan ayahnya yang memohon padanya agar datang membuatnya terpaksa menyetujuinya. Meskipun tinggal satu kota, namun mereka sangat jarang bertemu. Setahun sekali pun belum tentu.
Ayahnya juga merupakan dokter senior yang sibuk, dia bahkan telah menjadi direktur di salah satu rumah sakit swasta.
Karena pagi hari Efrain harus melakukan tindakan penting di rumah sakit, maka baru siang hari dia menjemput Indira ke salon, membawakannya gaun panjang berwarna cream dengan heels senada, juga tas berwarna putih.
Indira mengenakan gaun itu lalu menata rambutnya di salon tersebut. Dia sudah terlihat sangat cantik saat ini.
Efrain pun mengganti kemejanya dengan batik berwarna senada dengan gaun panjang Indira. Efrain menyemprot parfum pada bajunya di mobil dan melajukan mobil itu.
"Di sana nanti akan banyak keluarga dari papi, mereka pasti akan bertanya-tanya asal usul kamu," ucap Efrain.
"Aku harus jawab apa?" tanya Indira.
"Bilang saja kamu kerja di bank, mereka akan berhenti bertanya."
"Jika mereka terus bertanya bagaimana?"
"Bilang saja bank yang sama dengan mami saya," ucap Efrain.
"Oke, bank apa?" tanya Indira lagi membuat Efrain melirik dengan sudut matanya yang tajam, dia pun menjelaskan nama bank itu dan sedikit bumbu untuk kebohongan Indira nanti.
Indira kemudian mengusap perutnya yang terasa kurang nyaman, dia bersandar di jok mobil tersebut. Mengapa waktu terasa sangat lama? Apakah karena macet? Perjalanan di hari sabtu bukanlah suatu yang menyenangkan, meskipun mereka lewat jalan tol nyatanya kemacetan seolah masih menjadi sesuatu yang menghantui.
"Kenapa?" tanya Efrain melihat wajah Indira yang tampak tak nyaman.
"Perutnya agak kram," ucap Indira.
"Sudah datang bulan?"
"Iya sejak kemarin, tadi sudah ganti sih sebelum jalan."
"Bawa obat?" tanya Efrain, Indira menggeleng dia tak terbiasa meminum obat untuk nyeri datang bulan, katanya jangan dibiasakan atau dia bisa keterusan. Mungkin karena dia gugup membuat rasa kramnya semakin tak karuan.
Efrain mengulurkan tangan mengusap perut Indira dengan lembut, usapan tangannya menyamankan Indira. Sementara tangan sebelah Efrain masih mengemudikan mobilnya dengan cukup santai.
Indira menatap Efrain, mengapa dia seperhatian ini? Bukankah dia sangat sempurna? Semua hal yang diinginkan wanita ada pada dirinya.
Cukup lama dia mengusap perut Indira hingga dia merasa nyaman dan kram perutnya berkurang drastis.
"Kita sebentar lagi sampai, tenang saja. Saya akan selalu ada di samping kamu dan membantu kamu. Jika ada yang bertanya kapan kita akan menikah? Kamu jawab saja kita tidak memikirkan pernikahan," ucap Efrain. Indira mengangguk pelan.
Mobil yang dikemudikan Efrain berhenti di depan gedung yang mana tampak seorang petugas valet menggantikannya sementara dia dan Indira masuk ke dalam gedung pernikahan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Sugar Daddy (Ongoing Karyakarsa dan wattpad)
RomanceIndira tahu cukup gila dengan apa yang dia jalani saat ini. Memiliki Sugar Daddy di saat dia juga memiliki kekasih dan akan menikah dengannya. Namun, dia sangat membutuhkan uang, sementara kekasihnya sangat pelit bahkan tak bisa meminjaminya sedikit...