Ledekin orang gimana rasanya, sih?
Asa selalu penasaran lantaran teman-teman sekelasnya kelihatan seluwes itu ketika ngatain satu sama lain. Makanya, jam kosong kali itu dia iseng nanya ke Kikan yang duduk di sebelahnya. Terus, tau gak cewek mungil itu jawabnya apa?
"Kalau pengen tau, ya cobain aja sendiri."
Kikan cuek banget, lebih peduli sama sketsa gambar yang lagi dia kerjain di halaman belakang buku catatannya. Asa jadi rada kesal lantaran rasa penasarannya belum terpuaskan.
"Oke, aku mau coba. Tapi menurut kamu, siapa yang harus aku ledekin?" tanya Asa. Sebagai orang yang belum berpengalaman, jelas ia butuh pengarahan.
Kikan kayaknya gak terlalu senang diganggu pas lagi sibuk menggambar. Agak malas, dia menebar sekilas pandang ke sekeliling lalu menangkap sosok seorang cowok yang baru aja masuk ke kelas dari arah pintu. "Dipta aja, tuh."
"Lah, kenapa dia?"
"Ya, random aja. Kamu mau coba ledekin orang lain?"
Asa berpikir sejenak. "Kalau mau ledekin dia, aku harus bilang apa?"
"Panggil aja wibu. Ntar juga sewot dia."
Asa garuk-garuk kepala. Dia gak ngerti apa itu wibu. Dia masih lugu, gak begitu paham sama istilah gaul yang sering dipakai teman-temannya karena selama ini dia lebih sering ngerem di kamar alih-alih main keluar. Di rumah juga kegiatannya paling cuma nonton TV sama ngobrol bareng Oma dan Opa. Selebihnya, Asa gak begitu up to date sama media sosial, apalagi ngikutin tren jejepangan atau kokoreaan yang nge-hits di kalangan anak-anak seusianya. Dia masih lebih senang namatin serial Bumi karangan Tere Liye di waktu senggangnya. Makanya, waktu dibilangin begitu sama Kikan, Asa nurut aja. Lagi pula, memang dia yang dari awal penasaran soal bagaimana sensasi yang didapatkan ketika meledek orang lain.
Cuma butuh sekian detik setelah Kikan mengucap kata terakhirnya, Asa udah bersiap melancarkan serangan ledekan terhadap Dipta. Cowok itu tengah melenggang menuju bangkunya kala Asa berteriak di tengah-tengah kelas tanpa tedeng aling-aling.
"Oi, Wibu!"
Suaranya cukup kencang untuk bisa didengar seisi kelas. Asa sendiri gak bermaksud untuk bicara sekeras itu, tapi nyatanya dia malah kelepasan. Kikan yang lagi fokus saja sampai mendongak, nyaris tak percaya sama apa yang dia lakukan. Anak-anak lainnya yang menyaksikan juga menatap Asa dengan sorot keheranan yang kentara. Ada angin apa seorang Salsafaira Hasna Aubrila, anak yang dikenal baik dan sopan itu, tiba-tiba ledekin temen sekelasnya sendiri?
Dan di antara orang-orang yang keheranan itu, sudah barang tentu jika Diptalah yang paling merasakannya. Dia yang diledekin. Rasanya konyol aja gitu, dia gak melakukan apa-apa, cuma kembali masuk kelas selepas dari toilet, lalu mendadak dikatain begitu sama cewek yang bahkan nyaris gak pernah terlibat interaksi apapun dengannya.
Yah, ada kan kasus temen yang udah lama sekelas tapi gak permah ngobrol sama sekali? Itu wajar, apalagi kalau beda gender, pasti gaulnya jarang-jarang nyampur. Kecuali kalau anaknya emang social butterfly banget yang sama siapa aja langsung akrab, entah itu cewek atau cowok. Masalahnya, di kelas ini baik Asa maupun Dipta lebih suka kumpulan pertemanan yang homogen -Asa gaulnya cuma sama anak-anak cewek, Dipta juga mainnya sama geng cowok semua, makanya mereka gak pernah nyambung.
Waktu denger Asa tiba-tiba teriak, Dipta kayak... what the hell? Emangnya gue salah apa tiba-tiba dikatain? Iya, dia emang mengakui diri sebagai wibu, pencinta anime Jepang. Memangnya apa yang salah dengan itu? Dipta sebal deh, dengan orang-orang yang suka mengatai kesukaannya seolah-olah menikmati anime Jepang sebagai hiburan itu aib. Mereka belum tau aja kalau banyak judul-judul anime yang ceritanya seru dan bikin ketagihan.
Sejenak, Dipta masih mencoba mencerna situasi. Dia menatap Asa lamat-lamat dari tempatnya berdiri demi menganalisa motif cewek itu meledeknya barusan. Nihil, dia tak menemukan apapun selain keterkejutan yang justru terpancar dari sepasang mata cewek itu.
Asa masih syok gegara suaranya tadi terlalu kencang. Dia refleks menutup mulutnya dengan telapak tangan selagi matanya terpaku ke satu arah. Dipta. Asa menangkap jelas reaksi cowok itu yang membeku di tempat. Dipta gak mengatakan apapun, kecuali menatapnya intens dengan sorot matanya yang tajam. Asa jadi agak gentar. Kayaknya, dia salah coba-coba cari masalah sama orang pendiam macam Dipta -nggak, ini salah Kikan karena lebih dulu rekomendasiin Dipta jadi sasaran ledek Asa hari ini.
Usai beberapa detik berlalu dalam keheningan yang awkward, suara lantang Dimas mencairkan suasana.
"Ciee... Asa, apa maksud nih tiba-tiba ledekin Dipta?" bocah tengil itu emang gemar bikin orang salah tingkah dengan omongannya.
Gara-gara itu, Asa langsung gerak cepat berbalik badan, berpaling dari Dipta dan penghuni kelas lainnya yang masih menatapnya heran. Di sisi lain, Dipta juga dengan canggung melanjutkan langkahnya yang sempat terjeda. Waktu yang membeku di ruangan itu seolah mengalir kembali.
Tak ada yang berminat melanjutkan bahasan soal tingkah aneh Asa siang itu lantaran bel tanda pergantian pelajaran sudah berbunyi. Sebentar kemudian, guru yang bakal mengajar memasuki kelas dan peristiwa barusan dengan mudah terabaikan oleh anak-anak lain. Semuanya fokus mengikuti pelajaran. Saling meledek seperti itu sudah dianggap lazim di kelas ini. Yang janggal mungkin cuma fakta bahwa kali ini pelakunya adalah Asa, anak yang belum pernah melakukannya sebelumnya.
"Gimana, Sa? Udah ngerti rasanya ledekin orang?" Kikan tersenyum jahil.
"Kapok, ah. Gak mau aku begini lagi," Asa cemberut. "Harusnya tadi kamu larang aku, bukannya malah nyuruh aku ledekin Dipta."
Kikan serta merta membela diri, "Lah, aku gak nyuruh. Tadi kan kamu sendiri yang bilang pengen ledekin orang, aku cuma ngasih saran."
Bibir Asa kini makin melengkung ke bawah. Ucapan Kikan benar. Yang memutuskan untuk meledek Dipta ya Asa sendiri. Maka, dialah yang pantas disalahkan di sini.
"Aku jadi gak enak, nih, Kan. Kira-kira Dipta marah gak ya sama aku?" kata Asa cemas.
"Entah. Tanya aja orangnya. Kalau emang merasa bersalah, kamu minta maaf lah. Aku juga pengen liat reaksi dia seandainya kamu bilang alasan meledeknya barusan cuma iseng doang. Pasti tuh anak bakal makin sewot."
"Ih, Kikan! Jangan nakut-nakutin!"
Kikan tak bisa menahan kekehnya. "Aku gak nakut-nakutin. Tengok aja tuh sekarang, Dipta lagi liatin kamu dari sana. Kentara banget keselnya sama kamu."
Asa memberanikan diri menoleh ke belakang. Dari balik bahunya, dia mendapati sosok Dipta yang duduk di baris paling pojok sedang menatap lurus ke arahnya. Mata mereka tak sengaja bertemu. Asa terkejut, lantas refleks berpaling dari sepasang netra gelap milik Dipta.
"Duh, bener lagi, Kan. Dia ngeliat ke arahku."
Kikan menyeringai. "Hayo loh. Sekarang dia pasti dendam sama kamu."
Asa bingung. Dia tahu dia harusnya meminta maaf, tapi untuk menghadapi Dipta rasanya segan banget. Asa gak pernah ngobrol sama sekali dengan anak itu sebelumnya. Asa takut soalnya Dipta selalu memasang ekspresi jutek di wajahnya yang terkesan dingin itu. Kira-kira apa yang harus dia bilang kalau mau minta maaf sama anak itu, ya?
Tau ah, pusing!
Dalam hati Asa berikrar bahwa ini adalah kali pertama sekaligus terakhirnya meledek orang. Ia menyesal mengikuti rasa penasarannya. Moral of the story, ternyata ledekin orang itu gak enak. Rasanya gak tenang. Lagi pula, mana boleh kita meledek orang lain jika diri sendiri juga tak mau diledek seperti itu? Lain kali, Asa bakal percaya saja pada penjelasan guru agama yang bilang bahwa perilaku tercela sekecil apapun tetaplah tercela. Tak perlu lagi Asa berinisiatif mencoba untuk membuktikannya.
*(tbc)*
KAMU SEDANG MEMBACA
Bloom In The Sun
Teen Fiction"Oi, Wibu!" Awalnya iseng ngeledek, tapi ujungnya malah tertarik. Itulah yang dirasakan Asa terhadap Dipta, cowok paling pendiam di kelasnya. Tadinya, Asa sama sekali gak mau deketin Dipta yang galak, tapi berkat diajarin matematika pada suatu hari...