Dua hari berlalu sejak Asa meledek Dipta. Meski kepikiran terus, cewek lugu itu masih belum meminta maaf. Bukannya gak sempat, yang lebih tepat itu Asa gak sanggup. Nyalinya keburu ciut sebelum maju. Boro-boro ngomong sama Dipta, deketinnya aja dia gak berani. Abisnya, Dipta kayaknya galak, sih.
Sejujurnya, Asa gak tau Dipta beneran galak atau nggak. Dilihat-lihat, tampilan luarnya kayak remaja cowok pada umumnya, kok. Badannya tinggi kurus, rambutnya hitam lurus, fitur wajahnya juga bagus. Intinya, gak ada yang salah sama penampakan cowok itu. Sampai saat ini, Asa belum pernah ngobrol sama Dipta, tapi menurut teman-teman ceweknya di kelas, gaya bicara Dipta rada ketus. Makanya gak banyak yang senang dekat-dekat sama dia. Lagi pula, anak itu kayaknya memang tipe yang tidak begitu suka didekati dan lebih suka menghabiskan waktunya dengan kegiatan yang bisa ia lakukan sendiri. Contohnya aja main game ponsel, atau nonton anime.
Gak heran dia dipanggil wibu.
Ketika Asa masih mikir-mikir mau bilang apa saat nanti keberaniannya untuk minta maaf ke Dipta tiba, kesempatan berhadapan dengan cowok itu malah datang padanya tanpa dinyana.
Siang itu, Asa dan segenap teman-teman sekelasnya sedang mengerjakan tugas matematika dari guru. Materinya tergolong susah dan mereka baru saja mempelajarinya selama dua pertemuan terakhir. Asa sendiri belum begitu paham dan hanya mencoba mengerjakan soal mengikuti contoh yang ada di buku paket. Nyatanya, gak semua soal yang dikasih guru ada contoh dan penjelasannya. Apalagi di nomor-nomor terakhir, permainan logika dan tingkat kesulitannya sudah berbeda dengan yang sebelumnya.
"Kan, nomor delapan belas sampai dua puluh kamu tau gak caranya gimana?" Asa bertanya pada teman semejanya, Kikan.
"Nggak. Aku udah coba hitung, tapi hasilnya gak ada yang sesuai sama pilihan jawabannya," ujar Kikan. Ngomong-ngomong, soal yang mereka kerjakan memang pilihan ganda semua.
"Waduh. Terus gimana, dong? Mana Bu Reva lagi gak ada pula." Asa bingung. Kalau mentok begini, mereka harus bertanya pada siapa jika bukan pada guru?
"Tenang, Sa. Kamu lupa ya, kelas kita ini kan kelas matematika. Banyak anak pintar di sekitar kita, jadi jangan khawatir. Coba tanya salah satunya aja, pasti ada yang bisa ngajarin kita," cetus Kikan.
"Ah, bener juga."
Kalau harus dijelaskan, sekolahnya Asa dan Kikan itu menerapkan sistem kelas unggulan di samping sistem kelas reguler. Sistem kelas unggulan inilah yang menjadi ciri khas sekolah ini dibanding sekolah lain yang setara di kota mereka. Ada sepuluh kelas setiap angkatan dan lima di antaranya adalah kelas unggulan. Kelas-kelas unggulan itu ditandai dari huruf A sampai E dan tiap kelasnya memiliki mata pelajaran peminatan yang berlainan, mulai dari Agama, Bahasa, IPS, IPA, hingga Matematika. Kebetulan, Asa dan Kikan masuk ke kelas E, kelas peminatan Matematika.
Memangnya Asa pintar Matematika?
Gak juga, sih. Sebetulnya dia lebih berminat masuk kelas Bahasa. Dia paling suka Bahasa Inggris dibanding mata pelajaran lainnya. Namun tampaknya nilainya sewaktu tes masuk dulu lebih unggul di Matematika sehingga di sinilah ia sekarang, terjebak bersama kumpulan orang-orang terpilih yang konon punya nilai-nilai tertinggi seangkatan.
Banyak yang bilang, kelas E itu isinya genius semua -tak terkecuali buat semua tingkatan, dari kelas tujuh sampai kelas sembilan. Buktinya, dari dulu banyak duta lomba sekolah yang berasal dari kelas ini. Bukan cuma di bidang Matematika, tapi juga bidang akademik lain, bahkan sampai seni dan olahraga. Di kelas Asa sendiri, kelas 8-E, sudah ada sejumlah kandidat yang bakal mengikuti OSN Matematika tahun ini. Sebut saja Faiz, Diora dan Ruby. Itu pun mereka masih bakal diseleksi lagi sehingga yang terbaiklah yang bakal dikirim lomba sekitar enam bulan ke depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bloom In The Sun
Teen Fiction"Oi, Wibu!" Awalnya iseng ngeledek, tapi ujungnya malah tertarik. Itulah yang dirasakan Asa terhadap Dipta, cowok paling pendiam di kelasnya. Tadinya, Asa sama sekali gak mau deketin Dipta yang galak, tapi berkat diajarin matematika pada suatu hari...