Pukul 09:00, di pagi hari.
Terlihat seorang wanita berambut pendek tengah berdiri di ruang tengah yang ada di apartemennya. Rambutnya berantakan, hanya memakai kaus putih kebesaran, dan celana pendek sepanjang lutut berwarna abu-abu. Berjalan gontai menuju ke dapurnya. Sungguh, penampilannya terlihat seperti seseorang yang baru saja terkena bencana alam.
Matanya masih setengah tertutup, terlihat jelas jika masih mengantuk. Memaksakan untuk bangun di hari liburnya ini hanya sekedar untuk menuruti kemauan perutnya yang protes minta diisi.
Saat dia hendak melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja ada sebuah tubuh dengan dada bidang menghalangi jalannya.
Irlin—wanita yang kita maksud—melompat kecil ke belakang, lagi-lagi dia dibuat terkejut oleh Riki yang setiap hari selalu menjahilinya.
"Woi!" Teriak Irlin dengan reflek.
Bukannya minta maaf, Sang Pelaku hanya menatap Irlin dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan tatapan curiga.
Irlin yang merasa risih hanya berdecak kesal, "ngapain, sih? Kebiasaan suka ngagetin orang lu. Minggir."
Saat diusir, Riki tak mengindahkan perkataan Irlin sama sekali.
"Mau makan mie lagi, ya?" Ucap Riki.
Kedua alis Irlin bertaut, "emangnya kenapa?"
Mendengar nada Irlin yang terdengar jelas jika Ia tidak suka, Riki hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ngga sehat, Lin."
Wanita itu memutuskan untuk tidak mendengarkan ucapan Riki dan terus melangkah menuju dapurnya; menembus tubuh Riki.
Irlin heran, apa hantu ini tidak lelah mengikutinya terus?
Riki yang merasa sedang diabaikan pun mengikuti Irlin dari belakang, dia berniat menahan Irlin agar tidak makan mie lagi. Jangan salahkan Riki, terlalu banyak makan mie itu tidak baik, 'kan?
"Lin, jangan makan mie lagi. Ntar usus lu keriting, ga bisa dilurusin lagi."
"Dicatok." Balas Irlin singkat, terdengar tidak tertarik dengan ucapan Riki.
"Yeuu, somplak lu."
Hantu itu terus mencoba untuk menahan Irlin, "Lin, tapi serius, deh. Ngga sehat, apalagi lu jarang istirahat gini. Libur cuma sehari dalam seminggu. Nanti lu cepet modar."
Mendengar perkataan Riki, Irlin terdiam sejenak. Benar juga, Irlin belakangan ini memang sibuk bekerja, istirahat pun bisa dihitung dengan jari. Helaan nafas keluar dari kedua belah bibirnya, dia membuka rak dapurnya dan melanjutkan niatnya untuk memasak.
Riki masih berusaha keras untuk membantu Irlin mengurungkan niatnya, "Irlin, jangan makan mie."
Irlin kembali berdecak, "duh, lagian yang mau beneran makan mie siapa, sih? Udah, diem."
"Ngga jadi makan mie?" Tanya Riki.
Wanita berambut pendek itu hanya mengangguk singkat menanggapi pertanyaan hantu laki-laki itu.
"Bohong lu."
"Lu milih diem atau gua beneran makan mie?"
Riki terkekeh, "iya, iya. Sebenernya gapapa, sih. Makan aja, nanti yang nanggung akibatnya sendiri juga siapa." Goda Riki.
"Lu kalo emang mau di sini, mending sambil duduk aja, tuh. Jangan ganggu gua, gua mau masak nasi goreng."
"Galak banget, Cebol. Iya, iya."
Riki menjauhkan badannya dan berpindah tempat ke kursi meja makan apartemen Irlin. Menuruti perintah sang pemilik apartemen, Ia duduk dan hanya menatapi Irlin dengan tidak lagi mengatakan apapun.
Irlin bisa merasakan bahwa dirinya sedang diawasi oleh seseorang, "ngga usah ngeliatin gua terus, bisa?" Ujar Irlin tanpa menolehkan kepalanya.
Sedikit terkejut saat Irlin bisa menebak kegiatannya, dia terkekeh jahil dan terbang menjauh. "Banyak banget permintaannya."
Mendengar protes dari Riki, Irlin akhirnya membalikkan tubuhnya dan menatap Riki dengan tatapan tidak suka. "Masih untung lu ngga gua usir!"
Kekehan hantu itu kembali terdengar, kali ini terkesan mengejek. Riki melayangkan tubuhnya dan pergi ke kamar Irlin.
Di kamar Irlin, bisa Riki lihat banyak sekali foto wanita itu saat masih remaja. Tidak sedikit juga fotonya waktu masih kecil, atau saat sedang bersama teman temannya. Namun, perhatian Riki teralihkan oleh satu foto di rak samping tempat tidur Irlin. Di situ, terpajang foto Irlin dengan senyumannya yang sangat lebar. Wajahnya masih polos, masih menggunakan seragam sekolah menengah ke atas nya. Rambutnya masih pendek, sama seperti sekarang. Tidak pernah sekalipun rambutnya memanjang, karena selalu dipotong setiap bulan.
Riki masih teringat jelas, di foto itu Irlin masih berumur tujuh belas tahun. Di umur itu, pertemuan pertamanya dengan Riki.
Benar, Riki sudah mengikuti Irlin kurang lebih selama enam tahun, sejak Irlin masih berumur tujuh belas tahun. Dan sedihnya, Irlin masih tidak bisa menerima keberadaan Riki dengan baik.
Tetapi, Riki tidak mempermasalahkan itu. Dirinya paham, tidak mungkin manusia akan semudah itu membiarkan seorang hantu mengikutinya selama bertahun-tahun dengan tanpa alasan yang jelas. Bagi Riki, selama dia masih bisa melihat wajah Irlin, itu semua sudah lebih dari cukup.
Tidak mudah bagi seorang hantu seperti Riki untuk mencintai manusia yang bahkan tidak tahu alasan mengapa Riki mengikutinya.
Riki mengelus wajah Irlin di foto itu, meskipun tangannya menembus pigura kecil yang memajang foto Irlin. Senyuman tipis tak luput dari bibirnya yang pucat.
"Maaf, jika senyumanmu pada hari itu membawaku abadi di sampingmu."
⏳
To Be Continued...
