Chapter 1: When He Was a King

50 8 1
                                    

BoBoiBoy © Monsta

Through a Glass, Darkly © Roux Marlet

Chapter 1: When He Was a King

.

Summary: When he was a king... Taufan had everything.

.

.

.

.

.

Fanart by: Asha_Cy

.

Ketika dahulu dia seorang raja, dia punya mahkota. Tak seberapa besar, kira-kira pas untuk kepalanya, namun terbuat dari emas murni berhias permata safir. Kalau lebih berat dari itu, dirinya yang baru berumur lima belas tahun tak mungkin bisa berdiri tegak setelah benda itu dipasang.

"Taufan, anakku ... dengan ini, takhta Windara kuserahkan kepadamu."

Tidak ada saksi dalam penobatan sederhana itu selain penasihat kerajaan. Hanya tiga orang di dalam ruangan: sang ibunda, sang putra, dan sang penasihat.

Tidak ada orang selain mereka bertiga yang tahu bahwa Taufan sudah menjadi raja Windara di usia lima belas, bukan delapan belas tahun seperti pengumuman resminya yang dikumandangkan ke publik. Dia adalah raja termuda di Windara yang pernah dinobatkan, dan dialah satu-satunya raja yang naik takhta sebelum pendahulunya meninggal.

Sejak penobatan itu, seluruh pertemuan resmi antara pemimpin Windara dengan para menteri dan pengawas distrik dilakukan secara terbatas dan diwakili oleh si penasihat bersama dengan Taufan. Tidak ada pejabat lain selain sang penasihat yang tahu bahwa putra sang ratu sudah menjadi raja, sampai umur Taufan mencapai delapan belas dan seluruh negeri memanggilnya "Raja".

.

Ketika dahulu dia seorang raja, dia punya singgasana. Kursi besar di undakan tinggi dari kayu jati, dengan beludru halus yang membuai orang yang duduk di atasnya. Lembut dan nyaman, selalu sedia bagi sang pemimpin sebagai tempat untuk duduk tenang dan berpikir bijaksana.

"Orang yang duduk di singgasana ini, dialah yang memegang segala bidang pemerintahan Windara. Semua keputusan datang dari Tuanku Raja. Hamba selalu siap membantu."

Maripos adalah nama sang penasihat. Dia banyak membantu Taufan mengambil keputusan besar. Perekonomian, pendidikan, kesehatan, pertanian ....

"Berikut laporannya, Tuanku: Anggaran biaya untuk sekolah di distrik satu sampai lima belas dalam tahun lalu dialihkan separuhnya untuk lima belas unit balai pengobatan baru di tiap distrik."

"Hmm ... kita punya berapa ratus unit penggilingan padi saat ini? Naikkan anggaran untuk sekolah-sekolah itu dari biaya mesin penggiling, mestinya belum perlu diperbarui tahun ini."

"Bijak, Tuanku."

.

Ketika dahulu dia seorang raja, dia banyak tertawa. Tawa lepas tanpa beban, seolah sakitnya sang bunda tidak pernah ada. Tawa terbahak yang mengudara bersama minuman-minuman sampai jauh malam.

"Tidaklah bijak seorang raja mabuk oleh anggur!"

Nasihat keras dari sang penasihat menguap bersama realita yang menyedihkan. Taufan sedih, sangat sedih, ketika diberi tahu umur ibundanya tidak panjang lagi. Semua ilmu menjadi sia-sia ketika kematian orang yang dikasihi menjelang di depan mata.

.

Ketika dahulu dia seorang raja, dia punya istana. Gedung mahaluas yang tertutup kain permadani di tiap inci lantainya, bertirai satin di tiap bingkai jendelanya. Ada banyak kamar dengan ranjang-ranjang besar, tempat sang raja mengundang beragam teman kencan dan memuaskan birahi sampai pagi.

Through a Glass, DarklyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang