Chapter 2: Reflection

15 3 0
                                    

BoBoiBoy © Monsta

Through a Glass, Darkly © Roux Marlet

Chapter 2: Reflection

.

Summary: Does his reflection show who he really is inside?

.

.

.

.

.

"HAHAHAHHAAAAA!"

Rasanya begitu ringan. Tiada beban. Kenapa Taufan baru tahu dirinya bisa terbang? Persetan. Yang penting hati senang. Iya, 'kan?

Menyaksikan ratusan, ribuan, berlaksa-laksa makhluk hidup terangkat dari tanah, rumah-rumah dan kandang hewan tercabut beserta isinya, berpusat dalam lautan beliung kencang yang sebagian dilalap api membuat Taufan sangat terbahak. Api menyebar merata, meleburkan warna merah dari permukaan tanah hingga ke langit. Semua itu terlihat seperti permainan yang mengocok perutnya. Taufan menyeringai lebar, rasanya seperti wajahnya akan robek oleh tarikan otot sekitar mulutnya.

Taufan sendiri ada di tengah pusaran. Di mata badai, di Istana Kupuri yang tetap kokoh karena tidak terkena langsung pusaran beliung di sekitar. Dialah yang tadi menelurkan angin ribut sedahsyat itu dan kini dirinya terdorong untuk melayang ke suatu tempat di halaman istana yang amat disukainya.

Kolam air kecil. Taufan suka berlama-lama di sana, dan kali ini pun dia mendekati permukaan air—

"AAAAAAAAAAARGHH!"

Taufan terjengkang menjauhi air sejauh-jauhnya, memusingkan lontaran angin dalam prosesnya dan menghantam runtuh istananya dalam sekejap mata.

Taufan tidak ingat pernah melihat sosok seperti yang dilihatnya di permukaan kolam barusan. Mengerikan! Menyeramkan! Menjijikkan! Sosok itu buruk rupa, wajahnya asimetri, sebuah tanduk serupa mahkota menghias dahinya dengan tonjolan permata safir di tengah-tengah seperti mata ketiga.

Taufan melayang keras dan menabrak sesuatu di dekat gedung istana yang masih cukup solid.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Aduh!"

BYUR!

Taufan gelagapan, kaget mendapati dirinya mendadak berada di bawah air. Untung saja kolamnya dangkal.

"Paman Maripos!" protesnya begitu sudah mendapatkan udara kembali. Taufan menggeleng-gelengkan kepala, seluruh rambutnya basah.

"Kelas berpedangmu akan dimulai. Jangan buat Panglima Karumbang menunggu orang terlambat," seru Maripos dari jauh.

"Kau mendorongku ke air!" tuduh Taufan sambil bangkit.

"Mana ada," balas Maripos, masih berseru seraya balik badan. "Pangeran bahkan tak bisa menembakku dengan panah dari jarak segitu."

Apa itu suatu sindiran bagi sang pangeran yang pelajaran memanahnya hampir selalu nihil kemajuan? Namun, memang benar tak mungkin Maripos bisa mendorong Taufan dari jarak belasan meter di belakangnya—kecuali jika diam-diam Maripos punya kekuatan sihir.

Taufan menggeleng lagi, rasanya ada sedikit air masuk ke telinganya. Ilmu sihir itu hanya ada di dongeng-dongeng indah Ibunda. Dongeng-dongeng indah yang diajarkan sang ibu seraya bersenandung, dan perlahan menumbuhkan cinta yang sama di hati Taufan terhadap musik dan lagu.

Through a Glass, DarklyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang