1. Areez Christopher

923 92 11
                                    

Aku pernah punya seekor anjing, berjenis Labrador Retriever, warna bulunya hitam dengan sedikit corak cokelat di sisi kanan-kiri tubuhnya.

Saat pertama kali ayahku membawa anjing itu, aku berumur sepuluh tahun, dan ukuran tubuh anjing yang diberi nama 'Charlie' itu hampir menyamai ukuran tubuhku kala itu.

Charlie sudah jinak, itu yang dikatakan ayahku. Tapi Charlie hanya patuh kepada pemiliknya, yaitu ayahku.

"Dengar Areez, Charlie sudah menjadi hewan peliharaan Papah hampir sepuluh tahun. Umurnya sama seperti umurmu, dan sekarang sudah seharusnya kamu menggantikan Papah untuk menjadi tuannya."

Aku menatap Charlie yang menggonggong, anjing itu seperti berusaha mengenal diriku, mengendus bauku yang mungkin tidak terlalu akrab baginya.

Itu wajar, karena aku dan ayahku tidak tinggal bersama. Ayahku tinggal bersama Charlie, namun tidak dengan anaknya sendiri.

"Kenapa harus?" tanyaku, mendongak menatap wajah ayahku.

Ayahku berjongkok, mengelus Charlie, mensejajarkan tatapan kami. Ia tersenyum padaku, senyum yang jarang sekali kulihat, 

"Karena Areez anak Papah. Dan Areez pasti seperti Papah, kita serupa. Jadi Areez akan suka jika menjadi tuan sekaligus pemilik Charlie."

Aku kembali menatap Charlie yang memejamkan matanya, menikmati elusan ayahku pada moncongnya.

Aku serupa dengan ayahku, katanya.

Jadi aku pasti akan suka jika menjadi pemilik dari Charlie.

"Mulai hari ini, Charlie akan Papah tinggal di sini. Areez akan mulai jadi pemilik Charlie, sebagai sebuah latihan karena Areez anak Papah satu-satunya. Paham?"

Charlie menatapku dengan mata hitamnya yang lebar, menoleh kepada Ayahku yang berdiri sekaligus berhenti mengelus moncongnya.

"Papah butuh jawaban, Areez." 

Aku mengangguk, merasa iba pada Charlie yang sepertinya tahu kalau dia akan ditinggalkan pemiliknya.

Tangan Ayahku terulur, menepuk puncak kepalaku tiga kali. Kebiasaannya jika ia akan pergi meninggalkan kami, menuju rumahnya yang lain, keluarganya yang lain.

Aku anaknya satu-satunya...

Itu bulshit, yang ia maksud adalah anak laki-laki satu-satunya.

Charlie mulai menggonggong saat Ayahku berbalik arah, berjalan menjauh. Anjing itu membuntuti ayahku dari belakang, pelan-pelan seakan Ayahku tidak akan tahu jika dia mengikutinya.

"Tinggal di sini!! Pemilikmu sudah ganti. Tinggal bersama Areez, jangan mengikutiku lagi. Paham?" Ayahku berbicara lantang, membuat gonggongan Charlie melemah.

Dan saat itu, aku tahu mengapa kami serupa.

Aku senang ketika melihat Charlie sangat patuh, anjing itu berdiri di atas kaki belakangnya. Kepalanya terulur ke atas, tersiksa karena merindukan Ayahku yang pergi menjauh darinya.

Tersiksa karena ingin mengikuti ayahku, namun dilarang oleh pemiliknya.

Rasa senang itu berganti antusias, ketika aku menanggil nama Charlie, dan anjing itu menoleh padaku tanpa meninggalkan posisinya.

"Charlie... Datang ke sini." Aku mengulangi, namun Charlie hanya menatapku dengan matanya yang seakan berkaca-kaca.

Mata hitamnya berkabut, lidahnya menjulur dengan suara gonggongan lemah. Sesekali ia menoleh ke arah perginya Ayahku,

"Charlie..." Aku merendahkan suaraku, kembali memanggilnya, menatap matanya yang besar, dengan gonggongan terakhir yang terdengar seperti meratap, Charlie berjalan perlahan ke arahku.

Love MistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang