BAB 4

204 28 8
                                    

°°°°

°°°°

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°°°°

Bel pulang berbunyi lima belas menit yang lalu, hampir seluruh kelas telah sepi. Menyisakan anak-anak OSIS yang baru saja menyelesaikan rapat. Ravindra berjalan seorang diri di koridor, menenteng tas miliknya sendiri yang tak terasa berat.

Sengaja memang. Pemuda bermata sipit itu akan pulang ketika sekolah sudah sepi, seolah menjauhi segerombolan murid yang keluar kelas. Bukannya anti-sosial, tetapi dirinya merasa tak nyaman saat berada di kerumunan. Itu saja.

Saat melangkah, terdengar sebuah teriakan yang memanggil namanya. Ravindra pun menghentikan langkahnya dan berbalik untuk melihat siapa yang memanggilnya. Ia terkejut saat melihat orang yang memanggilnya adalah Fernando dan teman-temannya yang melangkah mendekatinya.

Tidak. Hari ia lelah dan ingin mengistirahatkan tubuhnya, tidak berniat untuk berurusan dengan mereka selain dikelas sewaktu istirahat tadi. Ravindra melangkah mundur, membalikkan badan dan berlari sekuat yang bisa dilakukannya. Tentu hal itu membuat Fernando dan yang lain harus mengejarnya.

"Woi!! Jangan kabur!!" pekik Fernando berlari mengejar Ravindra diikuti oleh Aska, Bagas dan Arvin.

Ravindra terus berlari bahkan mengeluarkan suara gaduh di lorong yang sepi itu. Napasnya mulai terengah-engah, juga keringat yang membasahi pelepisnya. Ia tak menoleh, namun dirinya yakin jika mereka berempat mengejarnya.

Setelah sepuluh menit kejar-kejaran, Ravindra sampai di depan gerbang. Berhenti sejenak guna mengatur napasnya yang tak beraturan. Dia menoleh, melihat Fernando dkk yang masih mengejarnya dari jauh.

Ravindra menyeka keringat yang mengalir dari pelipis hingga pipi, menatap sekitar dan tertuju pada sebuah bus yang sepertinya akan berhenti di halte yang berjarak 100 meter dari tempatnya berdiri. Segera ia berlari saat menyadari mereka semakin mendekat.

Sesampainya di halte, ia melambai-lambai tangannya membuat bus berhenti tepat di depannya. Tanpa menunggu lama, Ravindra segera masuk ke dalam dan duduk di kursi kosong dekat jendela. Ia merasa lega saat bus bergerak tak lama setelah dirinya duduk.

Saat bus melintas melewati Fernando, Aska, Bagas dan juga Arvin yang berdiri di depan gerbang, Ravindra dapat melihat wajah kesal mereka berempat. Tatapan mereka tajam dan penuh permusuhan saat melihat kearahnya. Seolah memperingatkan dirinya bahwa mereka akan membalasnya esok.

Namun, Ravindra memilih mengabaikan hal itu. Memilih untuk mengatur napasnya yang sedikit sesak karena berlari tadi.

°°°°

𝐃𝐞𝐚𝐫 𝐑𝐚𝐯𝐢𝐧𝐝𝐫𝐚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang