Episode 2: Jalan Cerita

36 11 6
                                    

Karena jalan tidak selalu mulus, apakah kita bisa mengubahnya agar menjadi lurus? Katanya, mengubah takdir itu sangat mudah, apa perlu kita melakukannya? — Ezra Putra Kemenangan

***

SOROT lampu jalan menerangi langkah sepi yang menghantuinya. Malam yang semakin gelap membuat laki-laki itu tetap berjalan tanpa ragu untuk berhenti. Ezra mengembuskan napasnya berulang kali, ia membaca kalender di ponselnya. Besok adalah jatuh tempo untuknya membayar sewa kontrakan. Namun, ia sama sekali belum mempunyai uang yang cukup.

Bahkan, hari ini saja ia pulang dengan berjalan kaki karena harus berhemat. Jika ia punya sepeda motor, mungkin tidak akan semelelahkan ini. Kenyataannya, Ezra tidak mempunyai uang sebanyak itu untuk membeli sepeda motor impiannya. Lagi-lagi ia mengeluh, Tuhan tidak akan bosan untuk mendengarkannya, kan?

“Pasha pasti udah tidur.”

Sedari tadi, ia merasa ada seseorang yang mengikutinya secara diam-diam. Beberapa kali ia menengok ke belakang, tetapi tidak ada siapa pun yang ia temui. Hanya ada dirinya yang berjalan sendirian di tengah malam ini. Ezra hanya takut jika itu adalah orang jahat yang ingin menyakitinya.

“Aneh banget.”

Menempuh waktu sekitar tiga puluh menit, akhirnya laki-laki itu sampai. Namun, ia terkejut ketika melihat semua lampu di rumahnya mati. Ezra langsung berlari, ia teringat Pasha yang ada di dalam.

“Pasha? Kamu di mana?” Ezra mendengar tangisan dari arah kamar. Ia yakin itu adalah Pasha, adiknya. Ia menyalakan senter di ponsel, kemudian berjalan menuju kamar. “Sha! Kamu nggak apa-apa?” Ezra melihat Pasha yang terduduk di pojokan kamar. Lagi-lagi ia tidak bisa menjaga adiknya dengan baik.

Pasha mempunyai pobia nyctophobia, atau pobia gelap. Trauma yang terjadi ketika gelap, atau pada malam hari. Ezra langsung mendekapnya, kemudian menggendong adiknya itu ke atas kasur.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Ezra sembari mengecek keadaan Pasha. “Maafin Abang ya. Abang datangnya telat.”

Laki-laki itu masih menangis. Ezra tahu ini tidak mudah bagi Pasha. Trauma masa lalu sering membuatnya takut, apalagi ketika gelap seperti sekarang. Suara token listrik pun terdengar, ternyata pulsa listriknya habis. Terpaksa ia harus segera mengisi. Uang yang sengaja ia simpan m-banking, hari ini harus terpakai. Ezra tidak tahu lagi kenapa hidupnya begitu menyedihkan.

Ayah ... Ezra butuh Ayah. Ayah di mana? Ia hanya berharap keajaiban datang menghampirinya.

Lampu kembali menyala, laki-laki itu mengembuskan napasnya lagi dengan kasar. Malam ini sangat melelahkan, begitu melelahkan baginya. Namun, ini tidak seberapa dengan apa yang sudah Bunda lakukan untuk dirinya. Jadi, Ezra harus lebih kuat lagi.

“Sha, kamu udah makan?” Pasha masih diam. “Makan yuk? Abang tadi bawa makanan. Obatnya udah diminum belum?” tanyanya lagi. Namun, tidak ada jawaban.

Ezra memeluk adiknya lagi, kembali menenangkan Pasha yang masih dalam keadaan takut. “Tenang, ada Abang di sini. Pasha jangan takut, ya. Oke?”

Bunda, maaf. Ezra nggak bisa jaga Pasha dengan baik. Laki-laki itu menangis. Ezra memang sangat lemah, ia tidak bisa menahan emosinya. Ia memang tidak berguna.

Maaf, aku bukan hanya seorang pencundang.

Maaf, aku bukan hanya sekadar benalu di hidupnya.

Untuk Abang: Surat Terakhir Dari Tuhan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang