Bab 1 - Jauh Dari Hati Saya

10 1 0
                                    


Banyak manusia bersembunyi dibalik tawa lebarnya, mereka menertawakan dirinya sendiri, menghardiknya setiap detik karena saking munafiknya di dunia ini. Dan ya, hari ini aku menontonnya sendiri.

Setelah pindah tempat berminggu-minggu lalu, dan menjadi pekerja kantoran di sekitaran apartemen. Aku bisa melihat perempuan paling ceria di timku malah menangis di ujung tangga bawah sana.

“Bu Dea butuh tissue engga?” suaraku menggelar di tangga darurat, orang yang ku panggil dibawah sana terlihat menghapus air matanya, merapikan penampilannya dan berbalik melihatku, dengan senyuman.

Munafik sekali.

“Saya tidak tau ini berguna atau tidak, apalagi saya di kantor ini masih tergolong baru dan tidak tau menahu perihal seluk beluk tiap karyawan. Tapi Bu Dea, cintailah dirimu sedalam yang Ibu bisa, bahagiakan dia semaksimal yang Ibu Dea sanggupi. Buat dia tertawa sampai di tahap menangis lega.” Jeda sebentar.

“Bu Dea. Jangan jadi aktris karena di negara kita sudah banyak artisnya, mending membahagiakan diri dan mengobati apa yang seharusnya diobati sejak dulu.” Setelah mengatakannya aku menjauh, cukup sampai disana dan jangan terlalu jauh.

Kalana tidak suka mencampuri dunia seseorang, tapi rasanya memuakkan melihat manusia lebih menggebu-gebu menyenangkan orang lain daripada dirinya sendiri.

Tarik napas, buang.

“Bu Kalana darimana?” atensiku teralihkan.

“Habis menenangkan pikiran sebentar, apa ada yang mencari?”  tanyaku sembari duduk di kursiku sendiri.

“Tadi ada orang bawa makanan untuk Ibu, coba diliat.”

Mataku dengan cepat menatap tumpukan makanan di meja, jangan bilang ini kiriman Hidran lagi?

“Iri deh, Bu Kalana kayaknya disayang banget sama pasangannya.”

“Bener, saya juga mau digituin.”

Balasanku senyuman, duduk tenang menatap makanan itu lama.

Siang Mba Kalana, semoga suka dengan makanannya. Saya masih kurang tau anda suka makanan apa tapi sepertinya menu ini sering anda pesan di warung depan gedung apartemen. Selamat makan. -H

Kertasnya kubuang ke tong sampah.

Pikiranku melalang buana mengingat percakapan kami pagi tadi, saat bertemu di taman.

Mas Hidran kenapa segininya sama saya? Jangan kejauhan, Mas. Perempuan suka berprasangka saat laki-laki padanya.”

“Saya tidak masalah kalau kamu mikirnya sejauh itu, Kalana.”

Jujur, ini aneh. Amat sangat aneh sekali.

Jangan bermain, Mas. Game jaman sekarang banyak resikonya, bahkan berdampak buruk untuk masa depan semua pihak. Mending Mas Hidran fokus kerja aja, foya-foya dan menjalani hobi, Mas.”

“Kalana, coba tanya saya sesuatu yang mungkin bertumpuk di kepalamu. Saya akan menjawabnya sebagaimana pikiran saya sendiri.”

Huft. Wahana. Aku sepertinya menjadi hiburan tersendiri untuk pria itu. Aku sepertinya menjadi terminal lucu untuknya makanya suka mampir, suka bolak-balik, saking lucunya dia sedikit betah. Tapi palingan lama-kelamaan dia akan bosan, dan pergi.

Ku perbaiki kacamataku dan mulai bekerja kembali. Menjadi lulusan S2 bukanlah hal yang buruk, buktinya aku bisa menemukan pekerjaan bermodalkan ijazah tentunya pengalaman di tempat sebelumnya.

Set 5, waktunya pulang. Ya! Semombosankan ini hidup seorang Kalana, setiap harinya berisi berisiknya kepala, berisiknya deadline kerjaan, berisiknya keluhan para ibu-ibu yang punya tagihan banyak. Berisi keluhan capek para bapak-bapak si tulang punggung keluarga kecilnya.

Kalana:Jatuh Cinta, Lagi!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang