Perkenalannya tak begitu aku indahkan, sebatas senyum formalitas dan jabat tangan setelahnya pamit masuk kamar. Aku tidak tau apa yang dipikirkan Mas Hidran, padahal sudah kujelaskan panjang lebar tapi otaknya makin gendeng.Saat sampai kamar, aku menatap diriku sendiri yang amat sangat berantakan di cermin sana. Sepintas di memoriku, Kalana dengan rambut panjangnya tersenyum ceria mematut dirinya di cermin dan sedang mencoba dress yang baru dibelinya.
Bayangan berwarna itu menghilang tergantikan pantulan Kalana dengan rambut pendeknya, wajah lusuhnya, kacamata minusnya, pakaian kantor formalnya. Kalana yang ini amat sangat berantakan sekali.
“Kalana, kemana kamu sebenarnya? Kamu kenapa pergi sejauh ini? Apa yang menghancurkanmu sampai-sampai bentukmu seperti ini? Siapa dia?” kutunjuk pantulanku sendiri.
“Bukankah kamu suka make-up? Dress? Rambut panjang bergelombang? Kamu bahkan membenci buku. Apa sekarang?” di meja riasku bahkan hanya berisi makeup seadanya.
Aku tertawa kecil. Kalana oh Kalana. Mau sejauh apa kamu pergi untuk hidup? Mau ke dunia mana? Jujur, ini menggilakan. Makin kesini makin tidak waras saja.
Kulempar tasku ke ranjang, membersihkan diri dan memesan makanan sebagaimana sebelumnya.
Selepas membersihkan diri, aku duduk termenung di meja makan sembari menunggu makanan datang. Tenang itu sepi, tenang itu gila, tenang itu berisiknya kepala, tenang itu agak aneh.
Ting. Makananku sudah tiba dan cukup berisiknya Kalana.
Tapi bukan makanan yang datang melainkan Hidran yang berdiri disana dengan ekspresi kusutnya.
“Maaf membuatmu kebingungan. Saya tidak bermaksud menganggu duniamu, Kalana.” Jujur, Hidran ini memang membingungkan.
Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba datang dan mencoba akrab. Rasanya mustahil setiap kali kesimpulan yang kudapat adalah dia mencintaiku di pandangan pertama di hari itu.
Kalana amat sangat tidak mempercayainya.
“Ya?” dari sekian banyaknya kata yang bertumpuk di kepalaku, otakku memilih dua huruf ini.
Selanjutnya, apa yang terjadi? Kami duduk berdampingan di taman. Dengan aku memakai jaket milik orang ini, dan makan sendirian. Sudah kutawari tapi orangnya menolak.
“Mungkin kamu sudah menebaknya.” Tapi aku benci tebakanku.
“Dan saya tau betul, kamu tidak memberi kesempatan apapun di tebakan itu. Tidak ada celah yang bisa saya lewati sama sekali, makanya saya memilih seperti ini.” Membuka pintu lalu dibuat berantakan? No! Itu mengerikan.
Karena makananku sudah habis, sampahnya kubuang dulu barulah duduk disampingnya kembali. Memperhatikan beberapa pejalan kaki di sekitar.
“Mas Hidran pernah kehilangan jiwanya engga?”
“Jujur Kalana, sepanjang hidup saya tidak pernah ada pembahasan sekaku atau sejauh itu. Tidak ada pembahasan mengenai jiwa, atau hal tabu lainnya.” Aku tersenyum mendengarnya.
Berarti tebakanku benar, keluarganya amat sangat Cemara. Dia tidak mengenal apa itu sepi, jiwa mati, depresi, kehilangan, kesepian atau kehidupan rusak lainnya. Istananya amat sangat indah.
Jadi mau aku jelaskan seribu kali, dia tidak akan pernah memahami karena dia tidak dibesarkan di tempat sekacau tempatku. Tempatnya rapi, wangi, indah dan penuh kebahagiaan.
Sedangkan tempatku? Penuh tangisan, perjuangan, jiwa mati, teriakan memilukan, kesepian, obses akan ketenangan dan rusak-rusak lainnya.
“Jaketnya akan saya kembalikan setelah dicuci.” Aku memutuskan pergi tapi baru mau berdiri tapi Hidran memegang tanganku dan menuntut ku duduk kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalana:Jatuh Cinta, Lagi!
Historia CortaNamanya Kalana Nara. Berisi perempuan aneh yang berpindah ke tempat asing hanya untuk hidup sebagaimana orang sekitar. Bertemu pria lebih aneh lagi, seakan-akan telah mengenalnya lama. Merecoki hidup barunya. Katanya dia bernama Hidran Germono. Har...