How do I live without the ones I love?

21 4 0
                                    

Tangis langit jatuh berulang kali, seolah tak kenal lelah, menghujam bumi yang tak kunjung menyadari betapa dalam luka yang disembunyikannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tangis langit jatuh berulang kali, seolah tak kenal lelah, menghujam bumi yang tak kunjung menyadari betapa dalam luka yang disembunyikannya.

Setiap tetes hujan yang  ia membawa cerita pilu yang tak terucap, mengguratkan jejak kenangan di hati yang rapuh. Di kejauhan, angin berbisik pelan, merangkai rindu yang tak pernah sampai, sementara bayangan masa lalu terus menghantui, menari-nari di tengah keheningan malam yang dingin.

Tanpa diduga, suara langkah seseorang menyelinap masuk ke dalam pendengarannya yang masih tersisa, disertai dengan kehangatan sebuah jas yang tiba-tiba terpasang di pundaknya.

"Sudah larut malam, tidurlah," kata orang itu lembut.

Namun, sang penerima hanya terdiam, tenggelam dalam pikirannya sendiri, tetap menatap keluar jendela yang terbuka lebar. Hujan di luar seolah membiusnya dalam keheningan yang tak bertepi.

Diamnya malam semakin pekat, hanya suara hujan yang masih setia menemani. Jas itu terasa hangat, tapi dingin di dalam hatinya tak kunjung surut. Kata-kata yang baru saja diucapkan hanya menggema di ruang kosong pikirannya, tak mampu menembus kabut duka yang menggulung rapat.

Ia menatap hujan yang terus turun, seolah mencari jawaban di balik tirai air yang tak henti menetes. Bibirnya bergerak pelan, namun tak satu pun kata berhasil terucap. Mungkin, dalam hening itulah ia merasa lebih dekat dengan dirinya yang hilang—menunggu, berharap sesuatu yang tak pasti akan tiba bersama hujan yang tak pernah berjanji untuk berhenti.

Seolah terpecah dari kedalaman lamunannya, ia akhirnya berbisik pelan, "Aku merindukannya."

Kata-kata itu terasa berat, namun lega setelah terucap, seperti beban yang perlahan terlepas meski belum sepenuhnya lenyap. Hujan di luar jendela seakan mendengarkan, ikut menangis bersamanya, menyampaikan rindu yang tak terbalas kepada langit kelabu.

Perasaan yang selama ini terpendam akhirnya menemukan jalannya keluar, tercermin dari tangan yang mengepal kuat hingga jari-jari memutih. Tubuhnya bergetar pelan, tak kuasa menahan beban yang begitu lama dipikul sendirian.

Seseorang di sampingnya segera merespons, merengkuhnya dalam pelukan erat-bukan sekadar pelukan, melainkan usaha menahan tubuh yang hampir ambruk karena beratnya rasa kehilangan.

"Aku mengerti, Jerex, aku mengerti," ucapnya dengan lembut, seolah berusaha meredam amukan perasaan yang menggelora di dalam dada Jerex. Kata-kata itu membawa sedikit ketenangan, meski ia tahu, luka di hati Jerex tak akan sembuh secepat itu. Namun, setidaknya dalam pelukan itu, Jerex tidak lagi merasa sendirian.

"Sudah 8 tahun berlalu sejak kepergiannya, kau masih terpuruk dalam kondisi seperti ini. Mengapa tuhan menghukum seseorang yang tulus sepertimu."  Lanjutnya mencengkram pundak Jerex yang tak henti-hentinya meraung hebat.

Sewindu berlalu, namun rasa rindu tak kunjung pudar, seolah waktu hanya mengajarkan cara baru untuk menyimpannya, bukan melupakannya. Setiap hari yang berlalu membawa kenangan yang terus menghantui, mengisi ruang kosong di hati yang semakin dalam. Rindu itu tumbuh, menjalar, dan tak jarang menggenggamnya erat di tengah malam yang sunyi, membuatnya sadar bahwa meskipun waktu terus bergerak, perasaan itu tetap abadi, terpatri di lubuk hatinya yang terdalam.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

So Far AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang