08 | Gift

499 54 9
                                    

“Kaget loh, Kak. Pas temen-temen gue pada ngadu ke gue.”

“Ngadu apa?” Nirmala menyeruput kuah mie seblak yang 15 menit lalu dia bikin bersama adiknya yang pertama. Namanya Sania, udah kelas 3 SMA dan sekarang sedang pusing perkara mau lanjut ke universitas atau sekolah kedinasan.

Kemarin Om Dion telpon kalau project Nirmala selanjutnya adalah bergabung dengan staf Timnas U-16. Detail pekerjaannya akan dijelaskan di Minggu malam, sehingga Seninnya dia bisa langsung terjun ke lapangan. Itu artinya seminggu ini dia free, dan memilih untuk pulang berleha-leha di rumah. Contohnya seperti sekarang. Dia mana bisa makan seblak di Jakarta. Bikin sendiri pun tidak sempat lantaran tiap balik kosan badannya seperti habis diinjak gajah.

“Katanya, lu pacaran sama Nathan anak timnas itu.”

Nirmala tersedak kuah seblak. Buru-buru dia menenggak habis air putihnya di botol. “Apa-apaan?!”

Sania mengendikkan bahunya. “Gue juga awalnya gak percaya, tapi pas dikasih tau sama temen gue, gue jadi curiga kayaknya lu duluan yang selingkuhin Kak Zayan!”

Kalimat Sania berhasil membuat Nirmala syok. “Apaan sih, anjir! Gak jelas lu!”

“Lu kan kerja di PSSI. Bagian timnas seniornya lagi. Lu sering ketemu sama para pemain, bahkan lingkungan lu juga isinya laki-laki semua—”

“Terus lu ngira gue kegatelan gitu? Ngegodain mereka? Sasimo? Sana sini mao?!” potong Nirmala kesal.

Sania terdiam. Tiba-tiba merasa bersalah menuduh kakaknya yang tidak-tidak.

“Asal lu tau, mereka itu tipikal orang yang demen bercanda. Gue juga orangnya suka bercanda. Makanya kita semua deket. Sama Bu Ayang aja mereka juga gak jaim. Jadi kalo lu mikir gue kegatelan, lo salah!”

Kalo kena mental baru benar, lanjut Nirmala di dalam hati.

“...”

“Yang gue cerita waktu itu beneran, gak dibuat-buat! Gue dateng sendiri ke Blok-M buat ketemu Zayan. Tapi karena keadaannya chaos, tiba-tiba Nathan dateng. Gue juga kaget pas tau dia ada di kafe itu! Karena gue kenal dia dan dia juga kenal gue, yaudah dia nolongin gue karena kita kerja bareng. Udah, itu doang!”

“Terus itu video pelukan itu, apa penjelasan lu?” tanya Sania. Pasalnya dia kesal dengan komentar-komentar yang menjelek-jelekkan kakaknya. Bahkan sampai menuduhnya yang tidak-tidak.

“Kalo gue boleh jujur, emang itu kesalahan gue. Gue terlalu lemah karena masih sempat-sempatnya nangisin Zayan di tempat yang salah. Gue tersadar ternyata gue bego banget selama ini. Makanya gue nangis. Dan Nathan meluk gue buat nenangin gue.”

Sania menghela napas kasar. “Lagian itu orang kenapa meluk segala, sih?”

Nirmala mengerutkan keningnya. Dia kurang setuju dengan pernyataan adiknya itu. Dia seharusnya berterima kasih pada Nathan. Mau sengaja atau tidak sengaja memeluknya, tapi tanpa dia yang menenangkannya waktu itu mungkin Nirmala sampai sekarang masih terus meratapi nasib percintaannya. “Kalo itu gue no comment. Orang-orang pasti punya perspektif lain kalau denger penjelasan gue. Intinya malem itu gue benar-benar ditolongin Nathan. Bukan pacaran, ataupun selingkuh!”

Oke, Sania percaya. Lagipun, jika kakaknya sudah berbicara begitu eskpresif, maka bisa dipastikan jika dia memang mengatakan yang sesungguhnya. “Terus itu, Kak!”

“Apa lagi? Nathan lagi?” tebak Nirmala. Lantaran sudah keburu kesal. Nah kan, seblak yang masih sisa setengah di mangkoknya ini sudah tidak terasa begitu menggairah.

Sania kembali menghela napas. “Seperti yang lo tahu, lusa kemaren lu dateng ke Bogor sama Nathan, kan?”

“Hmm.”

WonderwallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang