20 | Right People

570 52 9
                                    

4 tahun kemudian.

Tidak terasa, waktu berjalan begitu cepat. 

Sekarang Nirmala sudah jadi wanita dewasa. 27 tahun. 3 tahun lagi kepala tiga. Di usianya yang sekarang dia berhasil menyekolahkan Sania hingga lulus S1 tahun kemarin. Tinggal si bontot Devi yang sekarang mau lulus SD. Bisa lah, dia bantu adeknya yang ketiga buat lulus S1 juga.

“Mbak Nirmala, kalau boleh tahu berapa usianya?”

Nirmala yang tengah mengambil beberapa centong nasi menoleh menatap seorang pria yang duduk tepat di hadapannya. Wanita itu mengernyit dan terkekeh. “Berapa tebak? Kalo bener entar saya kasih hadiah,” balasnya.

Pria itu tiba-tiba langsung mesem-mesem. “Waduh, apa tuh hadiahnya Mbak?” katanya.

Semua orang yang duduk mengelilingi meja panjang tersebut tertawa mendengar respon Sugeng, seorang karyawan baru yang direkrut beberapa bulan yang lalu. “Hadiahnya jalan-jalan berdua ke Taman Mini!” sahut Bu Manda yang kebetulan duduk di sampingnya.

Nirmala terkekeh dan lanjut menuangkan beberapa udang saus Padang ke piringnya. “Ada deh, ntar saya kasih hadiah kalo kamu bener nebak umur saya!” balas Nirmala jenaka.

“Berapa ya? Soalnya Mbak Nirmala cantik banget. Kayak baru lulus SMA!” ucap Sugeng. Lagi-lagi disahut oleh tawa orang-orang, termasuk Nirmala.

“Berapa, coba tebak? Yang jelas bukan 17 tahun!”

“23 ya, Mbak?” tebak Sugeng.

Nirmala rada terkejut. Bingung, ini Sugeng terlalu penjilat atau memang efek perawatan skincare-nya yang kenceng?

“Salah. Kalau saya 23, terus kamu berapa? Kamu kan baru fresh graduate!”

Sugeng nyengir lagi. “Ya siapa tahu, kalo umur kita gak terlalu jauh, bisa saya pacarin.”

Wah, kali ini orang-orang di sekitar mereka semakin heboh meledek Sugeng dan Nirmala. Nirmala mah enjoy aja.

“Sugeng, hati-hati! Jangan jadi Pebinor kamu!” kata Pak Surip yang duduk di samping Sugeng.

“Hah? Pebinor?” Wajah Sugeng langsung bingung. “Mbak Nirmala udah nikah?!” tanyanya.

Nirmala cuma tersenyum manis. Dia menunjukkan kalung yang terselip di balik kemejanya. Terdapat liontin huruf ‘N’ dan juga sebuah cincin pernikahan yang sama-sama bewarna silver.

Sugeng merasa bersalah. “Duh, ma—maap Mbak. Saya gak maksud—”

“Santai aja kali!” ucap Nirmala. Kasian juga, habis Sugeng mukanya emang terlihat memelas dari sononya.

“Kenapa gak dipake di tangan, Nir?” tanya Pak Rusli yang duduk di sebelah Bu Manda.

“Saya kalo nyuci suka gak sengaja kelepas, Pak! Apalagi pas monitoring ke lapangan, panik saya pas liat cincin saya ilang di lumpur. Untung ketemu!”

“Longgar bukan cincinnya?” tanya Bu Manda.

Nirmala mengangguk. “Iya. Customnya kurang bener waktu itu. Nanti kalo Suami balik mau dikecilin.”

Mereka hanya ber-oh ria. Nirmala lanjut makan, menikmati makanan laut yang kali ini disponsori oleh Pak Surip sekaligus ketua eksekutif acara sosialisasi rutin BRGM.

Drrt drrt drrt!

Ponsel Nirmala bergetar. Cewek itu buru-buru mengambil ponselnya di dalam tasnya dan melihat sebuah nama kontak di layar.

Hubby 🖤  is calling ...

“Halo, assalamualaikum ... Nggak kok, lagi makan bareng aja ... Kemaren Sania cek tanggal 19 jam 8 pagi. Dua kali transit, di Dubai sama Singapore, kenapa? ... HAH?!”

WonderwallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang