Datangnya Abel secara mendadak siang itu membuat bingung. Apalagi pria itu langsung membungkuk dan meminta ampun kepadanya.
Pelayan-pelayan yang membela Loralyn tadi pagi pun merasa senang bukan kepalang melihat Abel mengemis maaf sedemikian rupa. Mereka sampai memberi cap pada pria itu dengan nama ‘Ksatria Bermuka Dua’, tentu saja menghancurkan reputasinya sebagai ksatria paling ramah.
Bisa dimaklumi karena berita yang dibawa bukan sembarangan, tentang penyelidikan di lapangan. Tetapi pelayan yang hanya tahu usaha untuk tidak dipenggal Kaisar pun akan berusaha keras menjaga emosi itu tetap stabil.
Mereka paling tahu, Kaisar Phenlickel tidak suka ada yang mengganggu Loralyn.
“Ah, sial. Padahal selir lain tidak diperlakukan seperti itu. Parahnya, kenapa saya yang harus kesal?” gumam Abel, berjalan di aula istana. Ia harus buru-buru menyusul Kaisar ke lapangan, dari pada memikirkan hal yang seharusnya tidak dipikirkan.
Tersisa jarak 30 meter, teman-teman pasukannya sudah menunggu. Perhatian Abel kembali teralihkan kepada Loralyn yang sejak tadi berdiri di sana, dekat patung kuda hitam. Nampak keraguan di wajahnya, tetapi setelah diperhatikan cara berpakaiannya yang tidak menggunakan gaun panjang, Abel mengerti.
“Nona Aldews, ingin ikut ke lokasi?”
Loralyn tersentak. Ingin berkata tidak, tapi itu bertentangan dengan isi hatinya. Diam di istana sangat membosankan baginya yang berjiwa bebas. Lagi pula tidak ada peraturan khusus tentang batas bepergian, asalkan tidak kabur.
Abel tersenyum. “Saya akan siapkan kereta, tunggu di sana.”
Salah satu temannya menghampiri dan berbisik, “Apa yang kau katakan? Ingin membawa seorang wanita ke tempat itu?”
“Diam saja. Jaga mulutmu saat bersamanya, jangan sampai besi panas jadi menu sarapan kita. Yang Mulia pasti senang jika kita membawa nona itu, karena suasana di lapangan pasti sedang panas-panasnya. Harus ada yang memadamkan, bukan?”
***
“Katamu, api di kepala Kaisar akan padam.”
Nyatanya malah bertambah ganas.
“Ya-yang Mulia, jika terlalu keras memukulnya ... dia akan mati sebelum membocorkan informasi,” jelas Abel, mencoba bicara pelan-pelan.
Sambil mengunci pandangan ksatria satu itu, Kaisar Phenlickel melayangkan kepalannya tepat di ulu hati tersangka. Kalian pasti mengerti, ia membayangkan orang yang sedang terjerat di tiang itu, adalah Abel.
“Se-se ... seram.” Wajah Abel seketika memucat, tanpa sadar ia sudah mengusap perutnya karena ikut ngilu.
Kaisar Phenlickel mengelap tangannya, dari sisa darah musuh. “Sesi interogasi kita hentikan sementara waktu, karena tersangka pingsan. Rupanya dia tidak diberi makan, tenaganya sangat lemah. Bawa dia ke tempat pengadilan, setelah bangun segera beri kabar padaku.”
“Baik, Yang Mulia!” sahut semua ksatria.
‘Bukan masalah makan tidaknya, pukulanmu yang terlalu keras, Ingli,’ batin Loralyn, ia hanya memperhatikan dari kejauhan.
“Antar wanita itu. Sebelum kembali, ada tempat yang harus kudatangi, kalian tidak perlu turut serta.”
Mereka mengangguk paham.
Kaisar Phenlickel membuang sapu tangannya ke sembarang tempat setelah sampai di lokasi kudanya diikat. Seekor kuda putih gagah itu, yang hampir menabrak Loralyn bulan lalu, tidak bisa dilupakan.
Satu lirikan tajam dilempar kepada wanita itu sebelum ia berangkat. Ada aura tak enak dari mereka—Loralyn dan Inglebert, membuat para ksatria salah tingkah dan berpura-pura tidak melihat kejadian itu, termasuk Abel.
“Sepertinya ada masalah ...,” gumam Loralyn.
“Ayo, pulang. Silahkan naik, Nona,” ucap Abel membukakan pintu kereta berwarna emas itu.
“Ah, iya ... saya akan membuat pie, saya harap tuan-tuan sekalian mau mencicipinya nanti,” kata wanita itu, pasukan di sana hanya mengangguk dan menunggangi kuda masing-masing.
Sesuai apa yang sudah dijanjikannya, sepuluh pie apel siap untuk dipotong dan dibagikan pada para ksatria yang sudah bekerja keras siang dan malam. Bersama Hana dan pelayan bagian dapur, Loralyn mengantar kue-kue itu ke tempat pengadilan.
Tempat di mana nyawa melayang begitu saja. Di tengah sana tergeletak peralatan untuk hukum pancung, penggal kepala.
Tempat yang dulunya digunakan Bendera Merah untuk melatih banyak ksatria dan prajurit. Sekarang mereka pindah ke tempat khusus. Loralyn kaget saat tahu mayor yang melatihnya beberapa tahun yang lalu sudah tiada. Padahal ia belum sempat mendapat jawaban tentang pembahasan berhenti mencintai pedang.
Namun, ia mempunyai banyak alasan mengapa begitu lemah saat ini. Dulu jelas, Loralyn sangat berbakat dalam bela diri apa pun, dan mampu mengalahkan dua orang dewasa terlatih setelah 1 minggu pelatihan. Dalam waktu sesingkat itu, Kaisar pun dulu sempat iri dan sebal.
“Wah, enak, pie paling enak yang pernah saya makan. Terimakasih Nona Aldews!”
Walau pun tempatnya tidak pantas dan bisa saja menurunkan selera, mereka tetap makan dengan lahap. Salah satu kelebihan pasukan Hickel adalah, pandai dalam menghargai satu sama lain, itu yang membuat mereka semakin kuat.
Tidak ada perebutan pangkat, berdirinya mereka di sana murni untuk mengabdi pada negara. Berada di pangkat terendah pun sudah senang sekali.
Loralyn tidak menyangka, dengan sifat kasar dan kejam Kaisar Phenlickel dalam memerintah, ia bisa mendirikan kedamaian tersendiri. Mungkin jarang orang menyadari hal itu. Tetapi itulah sisi baik seorang Inglebert Phenlickel.
“Bukankah nanti sore kalian mengadakan perkumpulan?” tanya Loralyn.
“Benar, tetapi hanya beberapa yang turun langsung ke lapangan untuk membagikan pakaian yang kami kumpulkan.”
“Saya berharap bisa memberi yang lebih baik lagi ke depannya,” kata seorang pria, mengulum senyum. Ia jelas khawatir orang tidak senang dengan pemberiannya, tetapi hanya itu yang ia punya.
“Kami bekerja sukarela, tanpa mengharap gaji pada Kaisar. Tetapi beliau tetap memberi, padahal banyak biaya yang diperlukan untuk membangun sebuah negara.”
Loralyn tersenyum. “Anda benar.”
“Asal kalian tahu.” Abel mulai buka suara. “Yang Mulia sangat mencintai tentaranya, apa pun yang terjadi kita harus selalu bersama beliau.”
“Tentu saja!”
“Pffth ... aku jadi tidak ingin pulang,” gumam Loralyn menatap hangat semua orang. Ia seolah
***
“Mereka mengirim orang lain tanpa henti. Sampai kapan mereka bersembunyi di balik kambing hitam?” Inglebert menghilangkan pedangnya, lalu kembali menunggangi kuda itu.
Dua mayat tergeletak di tanah, kepala mereka telah terpenggal, begitu pun kedua kaki. Warga yang menemukannya langsung ricuh dan kebingungan karena tempurung lutut salah satu korban menghilang, seperti korban pembunuhan beberapa waktu lalu.
Mereka tak tahu, kalau itu semua perbuatan Kaisar Inglebert Phenlickel.
“Penjahat itu semakin merajalela saja. Kalau dibiarkan, desa ini tidak akan aman.”
“Lalu kita harus bagaimana? Melapor pada kepala keamanan, lapor saja kalau kamu mau mati.”
Mentari senja semakin tenggelam, Inglebert merasa harus segera kembali ke istana. Setelah memastikan tangan dan wajahnya bersih dari darah, ia keluar dari toilet umum. Melirik sekilas dua orang yang baru saja membicarakan masalah penjahat, lebih tepatnya pembunuh yang berkeliaran.
Sambil membenarkan kain yang menutupi separuh wajah, ia melajukan langkah kudanya. Butuh dua jam perjalanan—tanpa berhenti–untuk tiba ke pusat kota. Tidak ingin terlihat pergi tanpa pengawalan, ia pun langsung mencari jalan pintas menuju istana, meski harus memutari kota.
Lokasi tersebut terlalu berbahaya. Tebing tinggi di samping sungai besar yang deras, menjadi jalan menapak kuda tersebut. Jalur curam pun tak terelakkan, langkah kuda memelan. Tetapi sayang ... kaki si putih tergelincir di bebatuan yang memang tersebar di mana-mana.
***
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
The Emperor's Beloved Woman
FantasySelama 4 tahun tidak bertemu, Loralyn Aldews yang telah dilupakan wajahnya oleh sang sahabat malah terjebak dalam situasi terburuk. Inglebert Phenlickel telah naik takhta sesuai hukum dan hak, berbuat semena-mena terhadap wanita itu. Menciptakan pos...