Prolog

2.3K 152 13
                                    

Raden POV's

Nama saya Raden. Lengkapnya Raden Arjuna yang sepanjang hidup saya sejak saya lahir, saya hanya bisa melihat 3 warna. Nuansa warna hitam, putih dan abu-abu. Saya tidak bisa membedakan warna sama sekali. Seseorang bilang, saya mengidap kelainan buta warna total sehingga saya tak tahu bagaimana indahnya warna pelangi, atau indahnya pegunungan berwarna hijau yang memanjakan mata.

Apakah saya merasa sedih dengan kecacatan yang saya miliki ini? Sama sekali tidak. Mungkin dulu-dulu iya, tapi sekarang sudah tidak. Saya sudah lulus SMA, umur saya sudah 18 tahun, saya anggap umur segini sudah dewasa dan tak ada waktu buat meratapi nasib yang jika diratapi gak akan mengubah apa-apa. Jika pun saya harus bersedih, penyebabnya bukan karena nasib nahas yang menimpa saya, melainkan karena Ibu saya yang selama 2 minggu ini nampak murung dan sering nangis tengah malam saat saya sedang tidur di kamar.

Saya sedih karena saya tak tahu apa yang membuat perempuan kuat sepertinya menangis.

Seumur hidup saya, sumpah demi Tuhan, sekali pun saya gak pernah melihat Ibu saya menangis. Dia wanita kuat yang membesarkan saya seorang diri tanpa seorang Bapak. Ya, Ibu saya seorang pelacur, ketika melahirkan saya gak tahu siapa dan di mana Bapak saya, begitu pun dengan Ibu. Sepertinya Ibu belum tahu kalo saya sudah lama tahu soal pekerjaannya. Meskipun begitu tak pernah saya tanya sekali pun karena saya bangga. Bangga memiliki seorang Ibu yang sangat kuat di tengah ribuan cobaan yang menimpa hidupnya tiada henti.

Namun untuk pertama kalinya saya melihat Ibu saya menangis dan bersedih, padahal dua hal itu tak pernah Ibu tunjukkan pada saya sekali pun. Ibu selalu mengajarkan saya jadi seorang laki-laki yang kuat dan bermental baja. Pernah saat saya SD dulu, saya di-bully karena bawa bekal ke sekolah dengan lauk ulat sagu. Saat saya laporan ke Ibu, Ibu kasih saran supaya saya gak di-bully lagi. Caranya hajar orang-orang yang mem-bully saya, buat mereka takut, lalu terjadilah insiden yang membuat para orang tua berbondong-bondong ke sekolah karena saya menghajar anak mereka. Ibu saya jadi orang di garda terdepan untuk membela saya dan malah ngata-ngatain orang tua mereka yang gagal mendidik anak karena sudah mentertawakan saya yang membawa bekal ulat sagu padahal tinggi protein dan bagus buat kesehatan.

Hal itu hanya contoh kecil soal kehebatan Ibu saya. Ada begitu banyak kehebatannya sampai-samapai saya tidak memedulikan soal pekerjaannya yang seorang PSK.

Hingga tanpa saya sadari, pintu kamar saya diketuk mungkin sedari tadi karena saya sibuk melamun soal apa yang membuat Ibu bersedih dan menangis akhir-akhir ini.

"Den, ini Ibu, A." Tok tok tok. "Raden ..., kamu sudah tidur?"

Buru-buru saya menggeragap bangun kemudian pergi ke arah pintu. "Belum, Bu."

Lalu saya buka knop pintu dan hati saya mencelus ketika melihat satu titik air mata meluncur di bola mata Ibu. "Ada yang mau Ibu omongin sama kamu, A." Ibu memanggil saya dengan sebutan Aa karena Ibu asli orang Sunda. Entah dengan Bapak saya. Saya duga mungkin orang Jakarta.

Saya tersenyum mendengarnya. "Akhirnya, Bu. Raden nunggu-nunggu sudah sejak lama Ibu manggil Raden buat cerita ada apa," ucap saya lalu menuntun Ibu untuk masuk ke kamar saya. Sengaja tidak saya tanya karena saya pikir lebih bagus membiarkan Ibu sendiri dulu karena kalo sudah siap pasti akan Ibu ceritakan ke saya apa yang menjadi keresahannya seperti yang sudah-sudah. Sekarang saya dan Ibu sudah duduk di kasur lapuk yang sudah kumal dan tipis. "Jadi ada apa? Ibu kenapa?"

Sorot mata lembutnya menatap saya. "I-Ibu pasti sudah bikin khawatir kamu ya, A. Maafin Ibu."

"Iya, Bu, nggak papa."

"Ibu mau ngomong sesuatu sama kamu. Sudah Ibu pikirin baik-baik selama berminggu-minggu dan Ibu rasa, ini jalan terbaik, A."

Saya mengangguk kemudian mencium tangan Ibu. "Ya sudah Ibu tarik napas dulu habis itu cerita."

Desa di Atas AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang