Bab 1 - Pulang ke Kampung Halaman

2K 209 61
                                    

Bab 1 - Pulang ke Kampung Halaman

Kalo sudah 100 vote, 50 komen bab berikutnya update ya. Kalo gak tercapai Minggu depan update seminggu sekali. Semoga suka.

#Raden POV's

"Siap berangkat, A?"

Saya menganggukkan kepala. "Siap, Bu."

"Yakin? Kamu gak bilang dulu ke temen kamu, A?"

Lagi, saya mengangguk. "Yakin, Bu. Nanti bilangnya di telpon saja biar mudah. Kalo bilang secara langsung, entar ada yang nahan haha."

Ibu tersenyum. "Ya sudah kita berangkat, A. Kita naik kereta ke Bandung."

"Oke."

Saya dan Ibu pun pergi ke stasiun kereta. Tiketnya sudah pesan online, tinggal nunggu saja di tempat duduk, lalu setelah waktu keberangkatannya dekat, tiket yang sudah saya pesan online tadi di-scan oleh  security-nya.

Keretanya ternyata sudah datang. Saya dan Ibu masuk ke dalam lalu mencari tempat duduk. Setelah ketemu saya duduk paling sisi dekat jendela, mata saya terpejam memikirkan sebentar lagi saya akan meninggalkan tempat kelahiran saya Jakarta menuju tempat kelahiran Ibu: Bandung Barat.

"Mumpung belum berangkat, A. Kalo kamu berubah pikiran, kita keluar sekarang. Ibu sudah baik-baik saja sekarang."

"Bu," ucap saya sambil membuka mata, kemudian memandang wajahnya yang cantik sekali. "Ibu cantik sekali," ucap saya sambil tersenyum.

"Kamu ini, A! Ibu nanya apa dijawab apa!"

"Kita pergi, Bu. Ke kampung halaman Ibu, tempat kelahiran Ibu, tempat yang sudah membuat Ibu nangis padahal selama ini Raden gak pernah lihat Ibu nangis. Raden nggak masalah. Ibu mungkin gak tahu, tapi kebanyakan temen-temen Raden lanjut kuliah untuk meneruskan pendidikan. Ada yang ke UI, ada yang ke UGM, beberapa ada yang ke ITB di Bandung, malah ada juga yang ke Udayana di Bali. Jadi, kita sudah hidup masing-masing, Bu. Mereka bakal punya temen baru, begitu pun dengan Raden. Di desa, Raden bakal punya banyak temen. Ibu gak perlu khawatirin Raden, oke?" ucap saya panjang biar Ibu paham supaya nggak khawatir lagi.

Raut muka wajah Ibu langsung berubah seperti jadi tenang dan lega. "Baiklah kalo begitu, A. Temen, kawan emang gak selamanya. Ada masanya, ada waktunya. Yang selamanya tuh keluarga. Hahaha dasar kamu ini, A. Sepertinya lebih siap kamu pergi ke kampung halaman dibandingkan dengan Ibu sendiri. Kamu memang anak yang hebat," ucap Ibu.

Selama 15 menit kami berbincang. Lalu tanpa sadar kereta pun berangkat, meninggalkan Jakarta dengan gemerlap kotanya yang menyilaukan.

Di dalam kereta, pandangan saya melihat ke arah jendela. Awalnya perumahan, gedung dan jalan raya, lalu berubah dengan pemandangan sawah yang menenangkan. Warna yang saya lihat hanya nuansa hitam, putih dan abu-abu. Tak ada warna lain.

Karena terasa menenangkan itulah saya merasa mengantuk, lalu saya pun tertidur. Tahu-tahu Ibu mengguncang-guncangkan bahu saya sambil berkata, "A, sudah sampai. Bangun, A. Kita sudah sampai di stasiun X."

"Sudah sampai, Bu?"

"Sudah tadi tadi. Pulas sekali kamu tidurnya, A. Semalem tidur jam berapa?"

"Jam 3."

Pantes.

Saya bangkit, lalu mengedarkan pandangan ke sekitar. Ternyata gerbong kereta sudah kosong, hanya tersisa beberapa orang saja, nampaknya mereka sudah pada keluar. Saya menggeliat sebentar kemudian berkata, "Ayo, Bu!"

"Semangat amat kamu, A."

"Semangat, lah. Kan mau bertemu Kakek sama Nenek."

Ibu terdiam cukup lama. "A, Ibu sudah bilang kan kalo Kakek sama Nenek–"

Desa di Atas AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang