Bab 3 : Meniti Langkah Baru

1.8K 176 50
                                    

Info penting! Tinggi Raden sudah saya ubah jadi 155, ya. Itu termasuk pendek kan? Soalnya Dewa sendiri 190 sangat tinggi haha.

Bab 3 : Meniti Langkah Baru

Aku bangun jam 5 dini hari. Jujur, rasanya dingin sekali padahal aku sudah tidur menggunakan selimut. Selama satu jam, aku melamun di tempat tidur, memikirkan rencana-rencanaku untuk ke depannya. Pertama-tama aku harus mencari kerja, harus punya penghasilan untuk menghidupi aku dan Ibu selama di desa ini.

"Raden, bangun, Nak. Ini Ibu sudah membuatkan sarapan buat kamu."

"Iya, Bu. Raden sudah bangun!"

Aku menggeragap bangun, cuci muka, lalu duduk di meja makan untuk sarapan. Ibu ternyata membeli bubur yang entah dia beli dari mana. Aku makan dengan lahap karena memang perutku kelaparan sekali. Suara kokok ayam dari luar memecah keheningan pagi, menyatu dengan riuh rendah suara anak-anak sekolah yang berlarian melewati rumah kami.

Setelah beres makan, aku izin ke Ibu untuk jalan-jalan keliling desa, padahal niatnya untuk mencari pekerjaan.

"Bu, aku mau jalan-jalan dulu, ya."

"Baiklah, hati-hati, Nak," jawab Ibu dengan senyum lembut.

Aku keluar dari rumah panggung yang pondasinya menggunakan batu kecil lalu mulai berjalan menyusuri jalanan desa. Kabut pagi masih menyelimuti desa, membuat semuanya tampak samar-samar dalam nuansa hitam, putih, dan abu-abu yang bisa aku lihat. Udara dingin menyentuh kulit, tapi aku berusaha untuk menahannya. Jalan setapak yang 'ku lalui berbatu, dengan rumah-rumah panggung khas Sunda yang berdiri di kanan kiri jalan namun jaraknya cukup berjauhan dari satu rumah ke rumah lainnya.

Desa ini memang indah. Di kejauhan, terlihat perkebunan teh yang luas, bukit, pegunungan, ladang labu siam, dan perkebunan sayuran. Sungai jernih mengalir perlahan di tengah desa, memantulkan cahaya pagi yang redup. Penduduk desa sudah mulai beraktivitas, ada yang memetik sayuran, ada yang membersihkan halaman rumah, dan beberapa ibu-ibu yang sedang mencuci pakaian di sungai.

Untung aku memiliki fisik yang kuat, jadi meski sudah jalan-jalan keliling desa, aku merasa tidak kecapean. Cuman terengah-engah sedikit dan masih bisa aku tahan.

Aku cari ojek, lalu bilang mau ke pasar, tempat yang biasanya ramai dengan aktivitas. Di sana, aku berharap bisa menemukan peluang pekerjaan. Pasar desa terletak di sebuah lapangan terbuka, dikelilingi oleh tenda-tenda pedagang yang menjual berbagai macam barang, mulai dari sayuran segar, buah-buahan, hingga barang-barang kebutuhan sehari-hari. Aroma rempah-rempah dan makanan tradisional tercium di udara, menambah semarak suasana.

Buat awal-awal aku coba cari kerjaan di sini kali, ya?

Aku mulai berjalan dari satu pedagang ke pedagang lain, bertanya apakah mereka membutuhkan bantuan. Banyak yang menolak dengan sopan, mengatakan bahwa mereka sudah memiliki cukup pekerja. Namun, aku tidak menyerah. Aku terus berusaha, berharap ada yang mau memberikan aku kesempatan.

Saat sedang berkeliling, aku melihat seorang pria tua sedang kesulitan mengangkat karung berisi sayuran. Aku segera menghampirinya dan menawarkan bantuan.

"Bapak butuh bantuan?" tanyaku.

Pria paruh baya itu menatapku dari atas sampai bawah kemudian menggelengkan kepala. "Henteu, Jang. Abah kuat keneh keur manggul karung ieu mah," ucapnya menggunakan bahasa Sunda yang tidak terlalu aku mengerti tapi aku paham pria paruh baya ini menolak tawaran bantuan dariku.

Aku mencoba mencari pekerjaan dari satu toko ke toko lain di pasar ini, namun kebanyakan menolak. Aku tersadar bahwa mereka menolak karena tinggi badanku yang kecil, meragukan kemampuanku untuk mengangkat barang yang berat. Beberapa pedagang bahkan menunjukkan ekspresi ragu saat aku mendekati mereka.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Desa di Atas AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang