02

234 39 2
                                    

Pagi ini terdengar rengekan di meja makan. Sondia berusaha membujuk si bungsu agar menghabiskan makanannya. 

Di depannya, Asa memperhatikan interaksi itu sembari memakan sarapannya.

Kalau aku jadi kamu, bakalan aku abisin walau ga enak. Asa berucap dalam hatinya.

"Iyadeh, nanti mama buatin yang kamu mau. Tapi sekarang makanannya dihabisin, ya." Bujuk mama.

Mendengar itu, Ara bersorak riang lalu menatap Asa yang berada di hadapannya. "Ara mau mama masak makanan kesukaan Asa!" 

Asa tersentak kecil. Perasaannya menghangat. Ternyata masih ada yang menganggap kehadiran dirinya. 

Kini semua mata tertuju padanya. 

"Asa suka makanan apa?" 

"Ayam suwir pedas." Jawab Asa. Walau hatinya sempat berdenyut karena ibunya tidak tau. Tapi tidak apa, sekarang ibunya jadi tau, kan?

"Wah, Ara mau coba juga dong. Kayaknya enak banget." Seru Ara.

Sondia kembali menatap Asa, "Selain itu kamu ada yang lain, ga? Ara ga bisa makan makanan pedas. Kamu suka sup ayam ga? kalau suka nanti saya masak sup ayam, karena itu makanan favorit Ara." Tawar Sondia.

"Loh kok gitu, ma?!" Bukan Asa, itu suara Ara. "Aku kan mau makan makanan kesukaannya Asa. Kok malah nawarin makanan kesukaan Aku."

Setelah itu kembali terdengar keributan antara Sondia dan Ara. Asa menunduk, awalnya ia senang mendengar Sondia akan memasakkan makanan untuknya. Walau ia sendiri tidak begitu menyukai sayuran. Namun hatinya bergejolak saat mendengar kalimat terakhir Sondia. Lagi lagi Ara yang ada di benak Sondia.

Asa merasakan senggolan di kakinya. Dilihatnya Rita menunjuk ke arah perdebatan Sondia dan Ara menggunakan dagunya. "Iya, Asa juga suka." Asa akhirnya bersuara.

Sean menghela napas. Dulu, tak pernah ada keributan di meja makan seperti ini. Namun semenjak mereka pindah, entah kenapa selalu saja ada pertengkaran yang terjadi.

Asa beranjak dari duduknya. 

"Asa berangkat duluan." Pamit Asa. 

Hanya Ara yang menanggapi dengan melambaikan tangannya.


=====


Lelah. 

Sepulang sekolah Asa langsung ke tempat latihan dance. Ia sangat suka menari. Menurutnya, ia bisa melampiaskan emosinya melalui gerakan-gerakan tersebut. Tak peduli tubuhnya terasa remuk akibat terlalu kuat menggerakkan badan.

Kini Asa berada di mobil bersama sang ayah. Tadi ia tak sengaja bertemu sang papa saat keluar dari gedung latihan. Tak ada percakapan. Asa tau aura ayahnya selalu terasa dingin. Tetapi kini ia merasakan hal berbeda. Lebih terasa mencekam.

Sesampainya di rumah, sang ayah baru bersuara. Mengatakan hal yang membuat emosinya perlahan naik.

"Tinggalkan kegiatan kamu yang tidak berguna itu. Lebih baik kamu mengikuti les tambahan daripada menari tidak jelas seperti itu. Memalukan saja."

Asa berbalik, "Aku tau apa yang aku suka. Dan aku berhak untuk memilih apa yang aku lakukan." 

"Buang jauh-jauh impian kamu untuk menunjukkan lekuk tubuhmu. Keluarga saya harus terhormat. Keturunan saya harus bekerja di dalam ruangan. Jika kamu tidak suka, silakan pergi dari keluarga saya." 

"Terus Ara?"

"Kenapa tiba tiba membahas Ara?"

"Ara suka melukis. Ara bahkan menghabiskan waktunya untuk melukis. Kenapa papa ga larang Ara juga?!"

"Ara sakit. Kamu harusnya paham itu."

Asa terkekeh sinis, "Egois!" 

"Jaga ucapan kamu!" Sentak Sean tersinggung.

"Egois! Papa Egois! Kenapa papa cuman nuntut Asa! Kenapa Ara selalu dapat apa yang dia mau! Kenapa?!"

"Ini semua demi kebaikan kamu, Asa!" Balas Sean tak mau kalah.

"Omong kosong!" Sentak Asa berlalu pergi tanpa merespon teriakan Sean.

"Keluarga balik bukannya bikin adem, malah makan ati terus." Racau Asa mengurung dirinya di dalam kamar. "Dikit dikit Ara, senggol dikit Ara. Apa apa selalu Ara." Asa terus mengungkapkan isi hatinya. Hingga tak sadar dirinya terlelap, mengabaikan perih yang mulai terasa di perutnya.


=====

DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang