Haneul si Ayah Tunggal

1 1 0
                                    

Musim Dingin, Seoul, Tahun 2018

"Apa kalian sudah menghubungi Haneul?" Sebuah suara baru saja masuk ke dalam ruangan membuat seluruh anggota tim menundukan kepala memberikan hormat padanya.

"Iya. Kami sudah menghubungi Haneul-sunbae tapi tidak diangkat."

"Astaga, anak itu. Dia selalu bertindak sesuka hatinya," umpat Jiwoo sambil menghela napasnya. "Kalian lebih baik bersiap-siap, kita akan mulai rapat jika Haneul sudah datang," tambahnya.

Waktu telah menunjukan pukul 8.30 am waktu Korea Selatan tetapi Haneul belum juga datang.

Jiwoo, ketua tim Haneul, duduk di ruang rapat kantor polisi sambil menatap jam tangannya dengan wajah yang semakin kesal. Sudah setengah jam sejak waktu rapat dimulai, tapi Haneul masih belum datang. Jiwoo memeriksa pesan di ponselnya, tapi tak ada pesan dari Haneul.

"Sudah setengah jam, tapi Haneul masih belum datang juga," ucap Jiwoo dengan suara kesal. "Apa kalian benar-benar sudah menghubunginya?"

"I-iya."

"Aku sudah memberitahunya jika akan ada rapat penting hari ini," seru salah seorang anggota tim.

"Coba hubungi dia lagi. Kita tidak bisa menunggunya lebih lama."

"Apakah kita harus menunggu lebih lama lagi, ketua?" tanya salah satu anggota tim.

Jiwoo menggelengkan kepala. "Tidak. Jika dia belum juga datang kita akan memulai rapat tanpa dia. Kita tidak bisa terus menunggu orang yang selalu bertindak sesuka hati seperti Haneul."

Sementara pria yang tengah dibicarakan tengah menyeruput secangkir kopi yang disajikan oleh seorang wanita paruh baya. Ruangan itu terlihat rapi dan teratur.

"Haneul, kenapa kau belum juga bersiap-siap pergi? Kau pasti sibuk!"

"Omma, tenanglah. Aku masih bisa mengejarnya. Aku tidak perlu sarapan."

Suara tangisan bayi terdengar dari ruangan sebelah. "Alice," panggilnya pada putrinya yang berumur tiga tahun.

"Haneul, pergilah sarapan dan bergegaslah. Biarkan ibu yang menjaga Alice," kata ibu kandungnya yang sejak tadi sibuk di dapur.

Haneul benar-benar membuat sang ibu naik darah dengan menyuruh putra sulungnya sarapan. Pria itu bersikap seakan baik-baik saja, padahal begitu kacau. Bahkan hampir tidak bisa mengurusi putri kecilnya.

Haneul masih bermain dengan Alice, putrinya sebelum bergegas untuk mandi.

"Tidak perlu. Aku akan menitipkannya di tempat penitipan anak saat aku pergi bekerja," balas Haneul tenang.

Ibu kandungnya terlihat marah dengan rencananya. "Dasar anak durhaka! Cucuku masih kecil, kau melarangku merawatnya."

Haneul langsung membalasnya, "Pergilah! Tak seharusnya kau mengurusi kami lagi. Kau tak suka dengannya tapi suka pada anak bayi ini." Dia mengucapkan dengan nada ketus.

Haneul segera membawa Alice ke tempat penitipan anak. Dia meninggalkan ibunya yang sedang menangis dalam pikirannya. Karena Haneul tahu, di tempat tersebut Alice akan mendapatkan perawatan terbaik lebih dari apapun yang ibunya bisa berikan. Dia berjanji akan kembali menjemput Alice sebelum waktunya pulang dari kantor.

Wanita paruh baya itu terhenti, menatap pria yang merupakan anak kandungnya itu. Perkataan anaknya, yang dipanggilnya Haneul, membuatnya terdiam. Hati wanita itu begitu sakit.

"Baiklah... aku tidak akan mengganggu kalian, jika dia sakit. Panggil aku," kata wanita itu sambil keluar dari rumah pria itu.

Pria itu menghela nafas dengan kasar sambil menggendong putrinya.

Jiwoo duduk di ruang rapat dengan tegang, menatap layar jam diponselnya dengan cemas. Haneul, anggota timnya yang sangat penting, belum juga muncul. Dia merasa sangat kesal dan tidak sabar.

"Di mana dia?" gumamnya dengan nada kesal.

Timnya sudah berkumpul di ruang rapat selama setengah jam, dan Jiwoo membutuhkan Haneul di sana. Mereka akan membahas kasus pembunuhan yang sangat pelik, dan Jiwoo yakin bahwa Haneul akan membawa perspektif yang sangat berharga dalam rapat itu.

Dia mengirim pesan singkat pada Haneul untuk menanyakan keberadaannya, tetapi tidak ada balasan. Jiwoo semakin cemas dan mulai merasa kesal.

"Apa dia pikir ini hanya main-main?" ucap Jiwoo dengan nada geram.

Dia memutuskan untuk menelepon Haneul untuk memastikan bahwa dia dalam perjalanan ke kantor. Namun, panggilannya hanya berakhir di kotak suara. Jiwoo merasa semakin frustasi.

"Bagaimana dia bisa seperti ini?" keluh Jiwoo kepada dirinya sendiri.

Jiwoo berharap Haneul segera datang ke kantor sebelum rapat dimulai. Mereka harus menemukan cara terbaik untuk menangani kasus pembunuhan ini secepat mungkin. Jiwoo mulai berdoa agar Haneul datang secepatnya.

Tiba-tiba, ponsel Haneul berdering, membuatnya kesulitan karena sedang menggendong si malaikat kecil.

"Alice... duduk yang baik, ya, Ayah terima telepon dulu," kata Haneul sambil menaruh anaknya di kursi mobil dan memakaikan sabuk pengaman. Anak kecil itu terlihat begitu gemuk dengan rambut terikat dua dan mengenakan dress kotak-kotak. Dia seakan mengerti apa yang diucapkan oleh ayahnya dan tidak banyak memberontak ketika duduk di tempatnya. Bahkan, dia hanya tertawa kecil sambil memainkan mainan yang berada di tangannya. Begitu menggemaskan.

"Hallo.... " Haneul menjawab teleponnya.

"Haneul kau di mana?"

"Di rumah!"

Mendengar jawaban dari Haneul membuat pria di seberang telpon sedikit kesal. Mereka sejak tadi berada di kantor menunggunya, sedangkan pria yang tengah berbicara dengannya terlihat santai.

"Hari ini kita ada rapat penting. Ketua tim sedang menunggumu. Kita akan segera melakukan rapat sebentar lagi," suara pria dari seberang telepon berkata. "Dia terlihat marah. Sebaiknya kau datang ke kantor segera mungkin."

"Oh... aku segera datang. Aku akan mengantar putriku ke tempat penitipan anak lebih dulu," jawab Haneul.

"Baiklah, kami akan menunggumu. Tolong cepat." Pria di seberang telepon mematikan teleponnya.

Haneul memandang anak kecilnya yang sedang tersenyum padanya. Dia mencium pipi si kecil dan berkata, "Ayah akan segera kembali, ya. Bersikap baik dan jangan nakal."

Lalu, ia meninggalkan putrinya di tempat penitipan anak dan bergegas ke rapat tim.

Haneul akhirnya tiba di kantor polisi setelah beberapa lama diharapkan timnya. Dia masuk ke ruangan rapat dengan santai, tanpa menunjukkan rasa bersalah sama sekali. Jiwoo, ketua timnya, langsung merangkulnya.

"Kamu terlambat, Haneul! Kamu selalu bertindak sesuka hatimu dan tidak memikirkan timmu!" ucap Jiwoo tetapi tidak membuat Haneul tersinggung, ia duduk membuat anggota timnya menghela napas kasar karena sikapnya itu.

Dingin dan tidak mendengarkan apa yang dikatakan oleh atasan, adalah karakter yang melekat di dalam diri Haneul.

"Maafkan aku, Pak. Aku harus mengantar anakku ke tempat penitipan anak terlebih dahulu," ucap Haneul memberikan alasan yang masuk akal pada atasannya.

Mereka tahu jika Haneul memiliki putri yang harus dirawatnya, tetapi hal itu selalu menjadi alasan bagi Haneul.

"Tetapi ini rapat yang penting, Haneul! Kita harus bekerja sama dan merencanakan apa yang kita akan lakukan dalam menangani kasus kali ini. Kamu tidak bisa datang terlambat seperti ini." Jiwoo begitu tegas pada Haneul. "Jangan lakukan kesalahan dan juga alasan yang sama lagi," tegas Jiwoo.

Haneul menganggukan kepala tanpa menjawab.

"Jangan lakukan lagi. Kamu harus memikirkan timmu dan tugasmu di sini."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hello Monster | Save My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang